Selasa, 15 Juli 2025

Perlu Aksi Nyata untuk Menyehatkan Laut Indonesia

Latest

- Advertisement -spot_img

Kondisi laut di Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Pemanasan global akibat perubahan iklim juga mencairkan es di Antartika, mengakibatkan naiknya muka air laut, perubahan dinamika arus laut dunia dan berubahnya pola migrasi ikan dan ini berdampak lansung pada kondisi perairan di Negara kepulauan seperti Indonesia ini.

Perairan Indonesia dalam kondisi tidak sehat dan membutuhkan pemulihan segera. Jika dibiarkan, ekosistem laut serta kehidupan yang bergantung padanya akan terus terancam.

Pakar oseanografi fisik Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dr. Salveanty Makarim, mengungkapkan hal ini pada diskusi Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Rabu, 11 Juni 2025. Dalam presentasinya yang berjudul:“The Role of The Indonesian Seas in the World Ocean Health and Warming Climate: Perspectives, Challenges and Outlooks”, dengan moderator Dr.Marina Frederick ahli kelautan dari CTIS, Dr. Salveanty, yang juga alumnus Xiamen University, Tiongkok, menjelaskan bahwa kenaikan suhu Bumi telah terjadi sejak era Revolusi Industri di Eropa pada decade 1800-an.

Namun masyarakat global baru menyadari krisis iklim ini sejak awal dekade 1960-an.

“Selama ini kita hanya tahu bahwa perubahan iklim disebabkan oleh kerusakan ozon akibat senyawa CFC (klorofluorokarbon), padahal penyebabnya jauh lebih kompleks,” ungkapnya.

Ia menambahkan, pengendalian ozon bisa dilakukan karena adanya alat pemantau atmosfer, namun berbeda dengan laut dalam yang jauh lebih sulit diawasi.

Laut dalam (Deep Sea) sering kali menjadi ‘wilayah buta’ yang luput dari perhatian, padahal kondisinya kini makin mengkhawatirkan.

ENSO dan Dampaknya pada Laut Indonesia

Selain aktivitas industri, fenomena ENSO (El Niño Southern Oscillation) juga menjadi faktor yang memperburuk kondisi laut.

ENSO adalah pola variabilitas iklim alami yang berdampak besar terhadap cuaca global dan kondisi laut, berakibat kemarau panjang, gagal panen, kebakaran hutan dan lahan bahkan dapat mempengaruhi kesehatan manusia, lewat meningkatnya penderita penyakit demam berdarah.

Walaupun, ENSO juga bisa berdampak berubahnya pola sebaran khlorofil di perairan laut yang merupakan sumber pakan ikan, sehingga membuat ikan berlimpah disuatu wilayah.

“Akibat perubahan iklim global maka munculnya ENSO yang terjadi secara periodik, kini diperkirakan akan menjadi lebih sering dan lebih” ujar Salveanty.

Penelitiannya di wilayah Lamongan dan Pamekasan, Jawa Timur, pada 2023 menunjukkan bahwa pasang surut laut terjadi lebih cepat, dari sebelumnya 12 jam kini menjadi hanya 10 jam.

Hal ini menjadi bukti bahwa pemanasan global telah mempengaruhi wilayah pesisir, termasuk Pantura Jawa yang padat penduduk dan kawasan industri.

Untuk memulihkan kesehatan laut, maka perlu adanya monitoring untuk memprediksi ENSO selama lima tahunan, 10 tahun, 20 tahun dan seterusnya.

“Sebab, ENSO adalah salah satu faktor parameter global warming. Jadi kita bisa memprediksi ENSO selama 5 tahun, 10 tahun atau 20 tahun. Prediksi ini bertujuan untuk melihat daerah tangkapan ikan akan bergeser kemana. Syukur kalau bisa setiap tahun,” terangnya.

Pemerintah juga menggelar program masif menanam mangrove di pesisir pantai di wilayah Indonesia untuk memperbaiki kondisi perairan laut.

Bahkan Presiden Prabowo Subianto juga telah mencanangkan program pembangunan Giant Sea Wall di sepanjang pantai utara Pulau Jawa guna menangkal erosi dan abrasi pantai serta membentengi naiknya muka air laut untuk melindungi Pulau Jawa,,

Adaptasi dan Pemulihan yang Mendesak

Salveanty menekankan pentingnya adaptasi masyarakat pesisir terhadap dampak perubahan iklim, seperti banjir rob yang makin sering terjadi.

Salah satu solusi yang perlu didorong adalah pembangunan industri berbasis energi hijau serta pengurangan industri yang tidak ramah lingkungan.

“China sudah mulai menerapkan teknologi industri ramah lingkungan. Kita pun harus mulai menata ulang kawasan industri dan memastikan setiap kegiatan industri memiliki AMDAL dan sistem pengelolaan limbah yang benar, bukan membuangnya ke laut,” tegasnya.

Selain itu, pemerintah daerah juga diminta aktif mengajak masyarakat untuk membersihkan sungai, menjaga kebersihan perairan, dan melestarikan lingkungan pesisir.

Saat ini, salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan gerakan penanaman mangrove di wilayah Pantura Jawa.

Sayangnya, meski Indonesia ikut serta dalam Dekade Ilmu Kelautan untuk Pembangunan Berkelanjutan Perserikatan Bangsa-Bangsa (2015–2030), atau Sustainable Development Goals (SDGs), aksi nyata pemulihan kesehatan laut dinilai masih minim.

Menurut data terbaru Indeks Kesehatan Laut Dunia, Indonesia hanya berada di angka 61 dari skala 100, yang berarti tidak sehat. Dalam peringkat global, Indonesia menempati urutan ke-124 dari 200 negara yang dinilai.

Dekade Ilmu Kelautan PBB bertujuan membangun kerangka kerja global dalam pengembangan ilmu dan pengetahuan kelautan, dengan visi “Ilmu yang kita butuhkan untuk laut yang kita inginkan”.

Program ini berfokus pada: Laut yang bersih, Laut yang sehat dan tangguh, Laut yang produktif, dan Laut yang dikelola untuk kesejahteraan umat manusia.

Ini sejalan dengan Goal 14 dari SDGs, yaitu: yaitu pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan laut, samudera, dan sumber daya kelautan.

Namun, tanpa komitmen dan aksi nyata di dalam negeri, visi tersebut akan sulit tercapai.

Kini saatnya, Indonesia mengambil langkah langkah serius untuk memulihkan lautnya — demi masa depan yang berkelanjutan, sebagai warisan untuk generasi mendatang. ***

- Advertisement -spot_img

More Articles