Cara-cara lama pengelolaan sumber daya alam harus ditinggalkan karena terbukti menggangu keseimbangan ekosistem yang akhirnya mengancam kehidupan umat manusia.
Direktur Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (SIL UI) Tri Edhi Budi Soesilo mengungkapkan dunia menghadapi krisis lingkungan yang perlu perhatian semua pihak.
Buktinya nyata seperti emisi gas rumah kaca yang bertahan tinggi, ekosistem yang rusak, dan semakin cepatnya kehilangan keanekaragaman hayati.
Kondisi tersebut berdampak pada meningkatnya fenomena bencana yang mengancam nyawa manusia. Misalnya, serangan gelombang panas, kekeringan panjang, dan banjir serta tanah longsor.
“Kita menyaksikan hasil dari praktik pemanfaatan sumber daya alam yang menggangu keseimbangan ekosistem,” kata Tri Edhi saat pembukaan The 4th International Symposium of Earth, Energy, Environmental Sciene and Sustainable Development, secara hybrid, Sabtu, 26 Agustus 2023.
Tri Edhi juga menyebut pandemi Covid-19 adalah bukti bagaimana kondisi ekosistem yang terganggu terkait dengan kesehatan manusia dan menjadi pengingat bahwa masa depan yang berkelanjutan adalah sebuah keharusan.
Menurut Tri Edhi kondisi lingkungan yang terganggu saat ini membutuhkan solusi berbasis ilmu pengetahuan. “Situasinya sangat mendesak, kita butuh solusi yang melibatkan semua pihak, tanpa sekat dan lintas disiplin keilmuan,” katanya.
Dia melanjutkan, International Symposium yang digelar Journal of Environmental Science and Sustainable Development (JESSD) SIL UI secara hybrid pada 26-27 Agustus 2023 diharapkan bisa menjadi wadah bagi para ilmuwan yang hadir untuk berkontribusi mencari solusi pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.
“Melalui simposium ini, kita memiliki kesempatan berharga untuk berbagi pengetahuan dan pandangan untuk mencapai perubahan dalam mengimplementasikan praktik pengelolaan sumber daya alam,” katanya.
Pada simposisum dengan tema “Lingkungan Berkelanjutan Pasca Pandemi Covid-19” itu, sebanyak 143 makalah telah terdaftar untuk dibahas yang datang dari ilmuwan berbagai negara seperti Irak, Malaysia, Indonesia, Sri Lanka, Uzbekistan, Filipina, Jepang, Nigeria, China, Jerman, Ukraina, Viet Nam, and Rusia.
Simposium ini mendapat dukungan diantaranya dari Pertamina, APP Sinar Mas, April, BRI, dan Daya Padi Abadi.
Sementara itu Dosen Senior yang juga Kepala Program Institute of Climate Adaptation and Marine Biotechnologu (ICAMB) Universiti Malaysia Terengganu, Malaysia Dr Mohammad Nor Azra Md Adib yang menjadi salah satu pembicara kunci pada simposium itu mengingatkan bahwa perubahan iklim telah memicu ledakan spesies asing invasif yang mengancam spesies asli setempat.
Hal ini menggangu secara lingkungan, kesehatan manusia, juga perekonomian terutama dari sektor pertanian.
“Kerugian lingkungan, kesehatan manusia, dan pertanian akibat spesies asing di Asia Tenggara mencapai 33,5 miliar dolar AS setiap tahunnya,” kata Mohammad Nor.
- SIL UI-CSEAS Kyoto University Bahas Lingkungan Sosial, Pentingnya Peran Masyarakat Jadi Salah Satu Sorotan
- Siti Nurbaya Diabadikan Sebagai Nama Spesies Baru Tanaman Hanguana, Ditemukan di Cagar Alam
Contoh-contoh dampak negatif dari ledakan spesies asing invasif adalah hilangnya kepiting Alaska yang bernilai ekonomi tinggi. Mohammad Nor pun mengajak semua pihak untuk sama-sama mencari solusi berbasis keilmuan untuk kondisi ini.
Selain Mohammad Nor, peneliti lain yang menjadi pembicara kunci pada simposium ini adalah Profesor Iryna Bulakh dari Darmstadt, Hesse, Jerman, dan Profesor Hironori Himasak dari Nagasaki University, Jepang. ***