Umat muslim punya tanggung jawab untuk mengelola hutan dan sumber daya alam secara berkelanjutan sesuai perintah Allah SWT.
Demikian mengemuka dalam Dialektika Baitul Hikmah bertajuk “Hutan dalam Dialektika Teologi Islam, Sains dan Praktik” yang diselenggarakan oleh Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Baitul Hikmah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), secara daring Jumat 8 Juli 2022.
Sugijanto Soewadi, anggota pengurus MUI Pusat di Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam, menjelaskan dalam teologi Islam manusia adalah khalifah atau wakil Allah SWT di muka bumi seperti dinyatakan dalam Quran Surat Al Ahzhab ayat 72.
“Oleh karena itu manusia harus aktif dan bertanggung jawab menjaga keberlangsungan fungsi dan manfaat bumi, termasuk hutan, sebagai tempat kehidupan makhluk Allah,” kata Sugijanto.
Menurut dia, para Founding Father Indonesia yang memiliki latar belakang Islam yang kuat telah menerjemahkan hal itu dalam Undang-undang dan falsafah Negara.
Fungsi dan manfaat hutan itu pun harus dimanfaatkan secara berkeadilan, seimbang dan demi kemaslahatan. Termasuk di dalamnya adalah untuk manusia, hewan dan tumbuhan.
“Tujuan tertinggi dari perlindungan alam dan ekosistem ini adalah kemaslahatan dan kesejahteraan universal, bagi seluruh makhluk baik dalam kehidupan sekarang maupun yang akan datang, atau berkelanjutan,” kata dia.
Sugijanto yang juga Ketua Bidang Humas dan Kerja Sama Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia itu menjelaskan salah satu bentuk pemanfaatan hutan adalah pemanfaatan hasil hutan kayu.
Menurut dia dari sisi produksi kayu hutan alam memang menunjukkan penurunan tahun-tahun belakangan ini. Tetapi hal ini diimbangi dengan peningkatan pemanfaatan kayu yang berasal dari hutan tanaman.
Selain itu upaya pengelolaan hutan secara lestari juga bisa diukur dengan perolehan sertifikasi pengelolaan hutan. Ada sertifikat mandatory dalam skema Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) ada juga sertifikat voluntary dengan skema yang dikembangkan oleh Forest Stewardship Council (FSC) dan Program for the Endorsement of Forest Certification (PEFC).
“Tanpa sertifikat pengelolaan hutan lestari, pasar akan menolak,” katanya.
Sugijanto melanjutkan pengelolaan hutan lestari juga didukung dengan kemajuan sains. Misalnya dalam budidaya kehutanan ada teknisk Reduced Impact Logging atau silvikultur intensif.
Selain itu ada juga multi usaha kehutanan yang memungkinkan pemanfaatan potensi hutan untuk meningkatkan hutan.
Dari sisi ilmu sosial dan lingkungan juga sudah berkembang misalnya dengan adanya resolusi konflik maupun penerapan Amdal.
Meski demikian, Sugijanto juga mengakui bahwa pengelolaan hutan saat ini bukan tanpa problem. Hal ini bisa dilihat dari banyak indikator misalnya adanya kebakaran hutan, tingginya konversi hutan, dan distribusi hak kelola yang belum merata.
Untuk itu, Sugijanto mengajak semua pihak, khususnya umat muslim melakukan refleksi dalam pengelolaan sumber daya alam dan hutan.
Sugijanto juga mengusulkan agar dicari peluang untuk memblending prinsip nilai dalam teologi Islam dengan ekonomi Pancasila sebagai prinsip dalam pemanfaatan sumber daya hutan.
Dia mengatakan untuk meninggalkan kecenderungan ekonomi kapitalis antroposentris yang kini terjadi yang bisa berdampak pada turunnya kualitas sumber daya hutan.
“Harus berpihak pada menengah kecil untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan keadilan bagi rakyat dan bangsa,” kata Sugijanto.
Hal senada diungkapkan oleh Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Palangkaraya, Kalimantan tengah Profesor Wahyudi. Menurut dia dalam teologi Islam, pengelolaan hutan berkelanjutan adalah perintah Allah SWT.
Dia mengingatkan hutan adalah gambaran surga di akhirat nanti seperti termaktub dalam Quran Surat Muhammad ayat 15. Surga digambarkan dengan adanya air jernih yang mengalir, madu berkualitas, dan buah-buahan yang banyak. ***