
Oleh: Diah Y. Suradiredja
Ketegangan dagang antara dua raksasa ekonomi dunia, Amerika Serikat (AS) dan China, kembali memuncak. Kali ini, AS berencana menaikkan tarif impor untuk beragam produk asal China. Kebijakan ini tak hanya mengguncang jalur perdagangan global, tapi juga menciptakan peluang besar bagi negara-negara lain yang siap bergerak cepat—termasuk Indonesia.
Di tengah panasnya konflik dua negara adidaya itu, ekonomi Indonesia justru punya kesempatan emas untuk tancap gas. Ketika Amerika mulai membatasi masuknya barang dari China, ruang bagi produk-produk buatan Indonesia terbuka lebar. Bukan hanya sebagai alternatif sementara, tetapi juga sebagai pintu masuk untuk merebut pangsa pasar yang selama ini dikuasai oleh China.
Ekonom memprediksi, jika skenario kenaikan tarif ini benar-benar terjadi, ekspor China ke AS akan anjlok hingga 43 miliar dolar AS. Celah sebesar ini tentu tak boleh dibiarkan lewat begitu saja. Indonesia, bersama Vietnam dan Meksiko, disebut sebagai negara yang punya potensi besar mengisi kekosongan pasar itu. Dan menariknya, beberapa sektor industri nasional sudah siap tancap gas, mulai dari alas kaki, tekstil, elektronik, hingga bahan baku industri strategis.
Indonesia Harus Cermat Membaca Peta Persaingan
Kenaikan tarif sebesar 10 persen oleh Amerika Serikat terhadap produk-produk asal China bukan hanya pukulan telak bagi ekonomi Negeri Tirai Bambu, tetapi juga secara langsung mengubah peta perdagangan global. Berdasarkan simulasi ekonometrik, nilai ekspor China ke Amerika yang sebelumnya stabil di angka 487 miliar dolar AS per tahun dalam periode 2019-2022 diperkirakan bakal ambruk hingga 43 miliar dolar AS akibat kebijakan ini.
China akan kehilangan dominasi di beberapa sektor penting. Tiga sektor yang paling terpukul adalah lampu penerangan dengan potensi kerugian mencapai 1,9 miliar dolar AS, disusul oleh sepatu berbahan karet yang bisa terpangkas 1,69 miliar dolar AS, serta peralatan penyiaran yang terancam susut 1,63 miliar dolar AS. Bukan angka kecil, apalagi bagi China yang selama ini sangat mengandalkan ketiga sektor tersebut untuk ekspor ke pasar Amerika.
Namun, di balik pukulan keras terhadap China, negara-negara lain justru mengintip peluang. Meksiko, misalnya, diperkirakan akan menjadi pemenang terbesar dengan tambahan ekspor ke AS senilai 7,8 miliar dolar AS. Negara ini diuntungkan berkat kedekatan geografis dan perjanjian dagang yang sudah terjalin lama dengan Amerika. Sektor elektronik dan otomotif Meksiko bakal jadi primadona, terutama karena perusahaan AS akan memindahkan sebagian rantai pasok dari China ke Meksiko demi menekan ongkos produksi dan logistik.
Vietnam tak mau kalah, dengan potensi kenaikan ekspor mencapai 5,11 miliar dolar AS. Keunggulan Vietnam terletak pada sektor elektronik dan tekstil yang selama ini juga kuat bersaing dengan China. Vietnam sudah menjadi pemain utama dalam perakitan komputer, ponsel, dan berbagai produk elektronik konsumen. Sementara di sektor tekstil dan alas kaki, Vietnam akan menjadi pesaing terberat Indonesia karena memiliki kapasitas produksi besar dan hubungan dagang yang baik dengan Amerika Serikat.
Selain itu, Kanada juga masuk dalam daftar negara yang bakal kecipratan keuntungan cukup besar, dengan prediksi tambahan ekspor 3,77 miliar dolar AS ke pasar Amerika. Hal ini menunjukkan bahwa negara-negara yang selama ini punya akses pasar baik ke Amerika dan memiliki struktur industri kompetitif akan paling diuntungkan dalam skenario ini.
Bagi Indonesia sendiri, prediksi peningkatan ekspor ke Amerika mencapai 1,69 miliar dolar AS. Posisi ini menempatkan Indonesia di peringkat keenam sebagai negara dengan potensi kenaikan ekspor terbesar dalam skenario perang dagang ini. Meski tidak sebesar Meksiko atau Vietnam, angka ini cukup signifikan jika melihat baseline ekspor Indonesia yang rata-rata di angka 28 miliar dolar AS per tahun ke Amerika.
Secara sektoral, dampak dari kebijakan tarif ini sangat bervariasi. Indonesia akan mendapatkan keuntungan paling besar di sektor alas kaki dan tekstil, dengan peluang ekspor produk sepatu berbahan tekstil dan karet serta sweater rajut yang mengalami peningkatan signifikan. Namun, peluang juga terbuka di sektor elektronik ringan dan komponen mesin, meski dengan tingkat persaingan yang lebih berat.
Meksiko akan berjaya di sektor lampu penerangan, komputer, dan peralatan video display yang selama ini dikuasai China. Sementara itu, Vietnam akan menambah porsi di sektor peralatan elektronik, alas kaki karet, dan tekstil, serta ikut bersaing di pasar broadcasting equipment yang mulai ditinggalkan China.
Thailand dan Malaysia mungkin hanya akan mendapatkan keuntungan moderat karena dominasi Vietnam dan Meksiko di sektor elektronik lebih kuat. Thailand bisa mengisi pasar di sektor parts mesin kantor dan produk agro olahan, sementara Malaysia diprediksi hanya mampu mengisi sebagian kecil celah di sektor komputer dan peralatan rumah tangga.
Dengan peta seperti ini, strategi Indonesia harus lebih dari sekadar meningkatkan volume produksi. Harus ada pendekatan strategis dalam membaca pasar dan memperkuat posisi di sektor-sektor yang punya nilai tambah tinggi. Sektor alas kaki dan tekstil memang menjanjikan, tapi tidak cukup untuk mendorong lompatan ekonomi. Indonesia harus berani masuk ke sektor elektronik, otomotif, dan bahan baku strategis seperti rare earth, agar bisa bersaing lebih jauh dan tidak terjebak di industri berteknologi rendah.
Pasar Dunia Buka Pintu, Indonesia Jangan Cuma Jadi Penonton
Simulasi ekonometrik dari studi terbaru memproyeksikan bahwa Indonesia bisa mengantongi tambahan ekspor ke AS hingga 1,69 miliar dolar AS. Ini setara dengan 6% dari total ekspor Indonesia ke AS dalam beberapa tahun terakhir. Sektor yang bakal paling diuntungkan? Jawabannya jelas: tekstil dan alas kaki—industri andalan nasional yang sudah lama menguasai pasar ekspor.
Data mencatat, tiga komoditas yang diprediksi melonjak tajam di tengah situasi ini adalah: Sepatu Tekstil, Sepatu Karet, dan Sweater Rajut. Industri-industri ini bukan pemain baru di kancah ekspor. Banyak pabrik besar di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur yang sudah terbiasa memproduksi untuk merek-merek global. Kalau momen ini dimanfaatkan dengan baik, bukan mustahil label “Made in Indonesia” bakal makin kuat di pasar Amerika.
Tak hanya Amerika Serikat yang membuka peluang besar bagi Indonesia, efek domino dari ketegangan dagang AS-China juga mulai dirasakan di berbagai belahan dunia lainnya. Negara-negara yang selama ini bergantung pada China kini mulai mencari alternatif sumber pasokan. Di titik inilah, Indonesia harus melihat peluang, bukan hanya menunggu bola tapi juga aktif menjemputnya.
China, misalnya, yang selama ini menjadi mitra dagang terbesar Indonesia di sektor minyak sawit, kini tengah menguatkan komitmen pada standar keberlanjutan. Melalui skema kerja sama China-Indonesia Sustainable Palm Oil Dialogue, kedua negara sudah sepakat mendorong target ambisius—seluruh ekspor sawit Indonesia ke China harus bersertifikat ISPO sebelum 2030. Ini bukan sekadar wacana di atas kertas, tapi strategi nyata untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai pemasok utama sawit berkelanjutan.
Lebih dari itu, China kini juga melirik Indonesia sebagai mitra strategis dalam penyediaan bahan baku industri masa depan, yakni rare earth atau logam tanah jarang. Komoditas ini menjadi rebutan dunia karena vital dalam produksi mobil listrik dan berbagai teknologi hijau lainnya. Indonesia, dengan cadangan besar di Kalimantan, punya peluang emas untuk naik kelas dari sekadar pengekspor bahan mentah menjadi pemain penting dalam rantai pasok industri global.
Jepang sebagai negara industri maju juga mulai membuka pintu bagi Indonesia. Ketergantungan mereka pada China untuk pasokan komponen otomotif dan elektronik mulai berkurang. Jepang kini melirik Indonesia sebagai alternatif untuk menyuplai kebutuhan kabel, modul LED, dan suku cadang kendaraan. Nilai industrinya sangat besar, bahkan mencapai ratusan miliar dolar AS per tahun. Jika Indonesia mampu masuk ke pasar ini, meski hanya sebagian kecil saja, dampaknya akan sangat signifikan bagi perekonomian nasional.
Tak ketinggalan, Eropa juga mulai melirik Indonesia, terutama untuk produk-produk yang mengedepankan prinsip ramah lingkungan. Pasar Eropa, yang selama ini dikenal ketat dalam urusan sustainability, tengah mencari sumber baru untuk produk agro dan tekstil organik. Ini menjadi peluang besar bagi Indonesia untuk memasarkan produk tekstil dari Bandung, Solo, dan sentra industri lainnya yang sudah mulai beralih ke bahan-bahan organik dan proses produksi hemat energi.
India pun mulai agresif memperkuat industrinya, terutama di sektor tekstil dan baja ringan. Ketika India mulai kesulitan pasokan dari China, Indonesia hadir sebagai solusi. Dengan kapasitas produksi yang mumpuni, Indonesia bisa menawarkan bahan baku tekstil dan baja ringan ke pasar India.
Saatnya ‘Made in Indonesia’ Berkibar di Pasar Global
Dari semua peluang ini, satu hal yang tak boleh dilupakan adalah pentingnya membangun branding “Made in Indonesia”. Dunia harus mengenal Indonesia bukan lagi sekadar sebagai negara pengekspor bahan mentah, tetapi sebagai produsen barang jadi yang berkualitas, berstandar global, dan ramah lingkungan.
Untuk mewujudkan itu, pemerintah perlu mendorong terbentuknya forum-forum dialog perdagangan yang terstruktur di tiap sektor. Kehadiran Indonesia di forum-forum dagang internasional seperti China-ASEAN Expo atau Trade Expo Indonesia juga harus dioptimalkan untuk memperkenalkan kekuatan industri dalam negeri.
Namun di balik semua peluang itu, Indonesia juga harus waspada. Lonjakan ekspor di sektor tekstil dan alas kaki memang menjanjikan secara jangka pendek, tetapi ada risiko jika terlalu bergantung pada produk-produk low-tech. Simulasi menunjukkan bahwa ketergantungan pada sektor ini justru bisa menurunkan skor Economic Complexity Index (ECI) Indonesia dari 0,053 menjadi 0,040.
Solusinya, pemerintah dan pelaku industri harus mulai berani menggarap sektor-sektor berteknologi tinggi. Sektor seperti elektronik, komponen kendaraan, hingga rare earth harus menjadi prioritas dalam roadmap industri nasional ke depan.
Indonesia Harus Tancap Gas, Jangan Tunggu Bola
Perang dagang antara AS dan China ini adalah momentum langka yang mungkin tidak akan datang dua kali. Celah pasar yang ditinggalkan China kini terbuka lebar, dan negara-negara pesaing kita sudah mulai bergerak cepat untuk mengisinya. Indonesia tak boleh ketinggalan.
Sudah saatnya pemerintah, pelaku industri, dan seluruh stakeholder bersinergi menggarap peluang ini. Saatnya “Made in Indonesia” berdiri sejajar dengan produk-produk unggulan dunia. Dengan strategi yang tepat, lima sampai sepuluh tahun ke depan, bukan mimpi melihat produk-produk Indonesia berjajar di etalase toko-toko besar di New York, Tokyo, Berlin, dan Paris.
Secara keseluruhan, dampak kebijakan tarif AS terhadap China membuka medan kompetisi baru yang keras di pasar global. Indonesia punya peluang besar, tapi persaingan dengan Vietnam, Meksiko, dan negara lain juga tidak bisa dipandang remeh. Jika mampu membaca peluang dan memperkuat sektor industri yang tepat, Indonesia bisa ikut panen cuan di tengah panasnya perang dagang ini. ***