Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) terus mendorong inovasi dalam sektor pertanian dan kehutanan melalui pengembangan model agroforestri jati-umbi garut di Desa Barengkok, Kabupaten Bogor.
Sistem ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan, tetapi juga memberdayakan masyarakat sekitar dalam mengelola dan memanfaatkan hasil hutan secara berkelanjutan.
Dona Octavia, Peneliti BRIN menjelaskan, salah satu skema optimalisasi pemanfaatan lahan hutan untuk mendukung ketahanan pangan adalah teknik agroforestri. “Contohnya, model agroforestri jati atau Tectona grandis dengan tanaman garut,” katanya dikutip, Selasa (11/2/2025).
Lebih lanjut dia mengungkapkan, BRIN bekerja sama dengan Perum Perhutani KPH Bogor, memberikan pendampingan kepada petani dalam budidaya umbi garut serta pengolahannya menjadi produk bernilai tambah, guna meningkatkan kesejahteraan dan perekonomian masyarakat setempat.
Untuk meningkatkan pemanfaatan umbi garut, Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi (PREE), OR Hayati dan Lingkungan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), telah menggelar Sosialisasi Manfaat dan Alih Teknologi bertema “Peningkatan Nilai Tambah dan Manfaat Umbi Garut Melalui Pembuatan Emping dan Tepung Pati Garut”.
Dona mengatakan pentingnya pengolahan pascapanen, karena agroforestri dengan tanaman pangan ini menjadi kebijakan sekaligus kebutuhan bersama. Hal ini untuk mendukung ketahanan pangan.
“Apalagi dengan adanya program Makan Bergizi Gratis (MBG), Kementerian Lingkungan Kehutanan berencana mengalokasikan 20,6 juta hektar lahan hutan untuk cadangan pangan, tanpa menebang pohon yang dapat dicapai dengan praktik agroforestri,” jelasnya.
Menurutnya, dalam kerja sama BRIN dan Perhutani ini, umbi garut ditanam di bawah tegakan pohon jati. Umbi ini mampu tumbuh dengan baik meski berada di bawah naungan, lebih dari 50%.
“Manfaat umbi garut luar biasa terutama bagi kesehatan, antara lain untuk penderita diabetes dan dispepsia atau maag. Hasil riset kami juga menunjukkan bahwa kandungan antioksidannya cukup tinggi, umbi garut yang kami tanam merupakan Kultivar Creole yang lebih tahan,” paparnya.
Umbi garut, kata Dona, memiliki kandungan nutrisi lengkap dan sumber antioksidan, dengan kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan umbi lainnya. Kaya karbohidrat, serat, dan asam folat, sehingga baik untuk ibu hamil, balita, dan lansia.
“Umbi garut sangat mudah ditanam, bahkan saat disimpan dalam karung dalam waktu lima bulan, ia dapat tumbuh sendiri. Cara penanamannya pun sederhana, misalnya umbi dipotong sekitar 5 cm, ditanam mendatar, lalu ditimbun tanah setebal 5 cm agar tidak kering oleh sinar matahari langsung,” bebernya.
Dia menambahkan, di bawah naungan pola agroforestri, tanaman ini mampu tumbuh dengan baik. Menghasilkan umbi yang dapat diolah menjadi tepung pati, emping, keripik, sereal, kukis, dan produk olahan lainnya.
“Kami berharap masyarakat mengetahui cara budidaya umbi garut, pemanfaatan dan pengolahan hasil panennya agar memiliki nilai tambah dan daya jual tinggi. Saat ini, produk pangan berbasis umbi garut sudah berkembang di Yogyakarta, Sragen, dan Jawa Tengah,” ungkapnya.
Dona berharap, Bogor juga bisa mengembangkan lebih lanjut. “Kuncinya adalah kolaborasi lintas sektor dalam pengembangan umbi garut, yang tidak hanya bernilai ekonomi tetapi juga berkontribusi pada ketahanan pangan,” tandasnya. ***