Dari tiga jenis energi biomasa yang tengah dikembangkan di Indonesia, yaitu serpih kayu untuk campuran batubara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), biodiesel untuk campuran minyak solar dan bioetanol untuk campuran bensin, ternyata penerapan bioetanol termasuk yang tertinggal dibandingkan dua jenis energi biomasa lainnya.
Perlu adanya upaya percepatan implementasi Perpres No 40/2023 dan mobilisasi sumberdaya iptek dan bahan baku agar bioetanol semakin layak dan ekonomis diterapkan di tanah air.
Demikian kesimpulan diskusi Center for Technology & Innovation Studies (CTIS)bertajuk ”Bioetanol Sebagai Alternatif Sumber Energi Bersih, Menuju Kemandirian Energi”, Rabu, 13 Maret 2024.
Dr. Aton Yulianto dan Tim Bioetanol BRIN menjadi pembicara pada diskusi tersebut. Diskusi dipandu moderator Dr. Unggul Priyanto, Ketua Komite Energi CTIS dan mantan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Menengok kebelakang, pengkajian dan penerapan energi bioetanol telah dimulai oleh BPPT pada tahun 1983 di Lampung, dengan dua pabrik bioetanol berkapasitas 8.000 liter dan 12.000 liter perhari.
Pengenalan energi gasohol, yang merupakan campuran antara bensin dan alkohol sebagai produk dari bioetanol, mulai digencarkan ke masyarakat. Pada tahun 2005, melalui Perpres No. 5/2005 mulai diluncurkan produk gasohol dengan kandungan 10% alkohol dan 90% bensin. Lalu, pada tahun 2008 terbit Peraturan Menteri ESDM No. 32/2008 Tentang Pemasaran BBM-Gasohol. Bahkan pada tahun 2013, BPPT sudah mulai mensosialisasikan BBM Gasohol dengan kandungan bioetanol 15%.
Pabrik Pabrik bioetanol bermunculan di tanah air, dengan total produksi bioetanol dalam negeri, pada tahun 2015, mencapai 214 juta liter. Namun, sejak itu, penggunaan jenis energi baru terbarukan yang lestari ini menurun.
Di lain pihak, impor minyak bumi Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Sampai September 2023 saja, impor BBM Indonesia sudah mencapai 33 juta kiloliter, dengan peningkatan rata-rata 9% pertahunnya. Perlu dicari bahan baku alternatif agar ketahanan energi bisa meningkat, antara lain dengan penggunaan bioetanol.
Sebagai Bahan Bakar Nabati (BBN), bioetanol memiliki angka-octane tinggi sehingga cocok untuk additive dan substitusi bensin. Sebagai contoh, bensin Pertalite dengan angka octane RON-90, hanya dicampur 5% bioetanol (C2H5OH) sudah bisa meningkat nilai octane-nya menjadi RON-91, menjadi sekelas Pertamax. Belum lagi perannya sebagai bahan bakar berkelanjutan yang rendah emisi dan ramah lingkungan, dibanding bahan bakar fosil.
Dr. Aton juga menyatakan bahwa Indonesia Indonesia mempunyai potensi bahan baku bioetanol yang beragam dan prospektif untuk dikembangkan, seperti tebu, ubi kayu, jagung, sorgum, sagu, aren dan batang sawit tua. Lewat nilai tambah teknologi, bahan baku bioetanol bisa diperoleh dari bahan berserat seperti jerami, bagas dan tandan sawit kosong melalui proses berligno-selulosa. Walaupun secara ekonomis belum kometitif karena memerlukan dosis enzim tinggi dan harganya masih mahal.
Para ahli bioetanol Indonesia sudah mampu menghasilkan 3.700 liter etanol dari per hektar tanaman singkong, 2.000 liter etanol dari per hektar tanaman jagung, 5.500 liter etanol dari per-hektar tanaman sagu dan 1.650 liter etanol dari per hektar tanaman sorgum.
Mengingat impor BBM yang meningkat terus, mencapai 9% setiap tahunnya, ditambah lagi meningkatnya konsumsi BBM dalam negeri yang terus meningkat pula, yang pada tahun 2022 sudah mencapai 37 juta kilo-liter, maka berbagai upaya untuk mandiri energi dan tidak selalu tergantung pada impor, harus terus diupayakan.
Apabila 5% bioetanol dicampurkan pada BBM (E-5) maka untuk konsumsi dalam negeri saja diperlukan 2 juta kiloliter etanol pertahunnya. Apabila campuran etanol dinaikkan menjadi 10% (E-10), dibutuhkan 4 juta kiloliter bioetanol pertahunnya. Untuk mencapai produksi 2 juta kiloliter bioetanol dibutuhkan 2.9 juta ton tebu, atau 12.2 juta ton ubi kayu. Memang ini membutuhkan upaya kerja keras melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
_________
Terbitnya Perpres No. 40/2023 Tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Nabati merupakan langkah awal Indonesia menuju swasembada bioetanol, sekaligus meningkatkan kemandirian energi dalam negeri.
Apalagi, lahan di Nusantara cukup luas dan bahan baku bioetanol dapat diperoleh dari produk-produk perkebunan di tanah tanah marginal yang kurang subur. Para ahli bioetanol Indonesia telah membuat skenario untuk membangun 37 pabrik bioetanol di seluruh Indonesia dengan produksi masing masing pabrik sekitar 150 ribu kiloliter pertahunnya. Penyediaan bahan bakunya disesuaikan dengan potensi daerah masing masing, lokasi pabrik harus dekat dengan lokasi kebun pemasok bahan baku dan juga harus dekat dengan pengguna bioetanol. ***