Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan Indonesia
membutuhkan dana yang cukup besar untuk menyediakan listrik dari energi baru dan terbarukan yang lebih hijau.
Kebutuhan dana tersebut diperlukan untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) seperti yang sudah tertuang dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) untuk pengendalian bencana perubahan iklim global.
Dana yang dibutuhkan sekitar 243 miliar dolar AS atau sekitar Rp3.500 triliun.
“Dibutuhkan 243 miliar dolar AS. Ini hanya untuk sektor ketenagalistrikan,” kata Menkeu Sri Mulyani dalam webinar “Sustainable Finance: Instruments and Management in Achieving Sustainable Development in Indonesia” yang dipantau di Jakarta, Rabu, 13 Juli 2022.
Anggaran setara Rp3.500 triliun tersebut diperlukan guna mencapai target NDC Indonesia yang berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK hingga 29 persen dengan upaya sendiri, atau 41 persen dengan bantuan internasional pada 2030.
Untuk mencapai target NDC yang sebesar 29 persen, sektor ketenagalistrikan perlu mengurangi emisi GRK hingga 314 juta ton setara karbondioksida (CO2e).
“Angka itu menjadikan sektor ketenagalistrikan penyumbang pengurang emisi karbon kedua terbesar setelah sektor kehutanan,” kata Sri Mulyani.
Adapun untuk mencapai target NDC yang sebesar 41 persen, sektor ketanagalistrikan perlu mengurangi emisi karbon hingga 446 juta ton CO2e pada 2030.
“Pendanaan untuk mengurangi emisi karbon tidak hanya akan datang dari uang pemerintah. Pemerintah akan berperan, tapi peran swasta dan pembiayaan internasional juga penting,” kata Sri Mulyani.
Karena itu saat ini pemerintah juga masih menyusun teknis pengenaan pajak karbon untuk memberikan insentif bagi pelaku usaha yang telah berhasil mengurangi emisi karbon.
Pemerintah juga masih mendiskusikan terkait harga karbon yang paling adil.
“Sayangnya pasar karbon global tidak memiliki harga karbon yang universal. Ini perdebatan serius dalam pertemuan Menteri Keuangan negara anggota G20 terkait harga karbon yang adil yang mencerminkan tanggung jawab umum yang berbeda,” ucap Menkeu Sri Mulyani.
Sri Mulyani melanjutkan komitmen Indonesia untuk pengendalian perubahan iklim bukan sekadar ikut pada aturan Internasional.
“Perubahan iklim telah menciptakan konsekuensi yang mengerikan bagi banyak penduduk kita sendiri. Jadi mengatasi perubahan iklim sebenarnya untuk melayani kebutuhan pengembangan kita sendiri,” kata dia.
Krisis perubahan iklim, lanjutnya, menyebabkan sejumlah anomali cuaca yang menyebabkan bencana alam yang dapat merugikan masyarakat.
Karena itu, kata dia, Presidensi G20 Indonesia juga menjadikan perubahan iklim sebagai topik penting yang perlu didiskusikan, termasuk dalam pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara-negara G20
.
“Di dalam keuangan berkelanjutan, tidak hanya dibahas terkait keterjangkauan dan komitmen pengentasan perubahan iklim, tapi juga aspek keadilan dan kesetaraan,” ucap Sri Mulyani.
Dengan kepemilikan terhadap hutan tropis yang besar, Indonesia akan menjadi salah satu negara yang mendapatkan perhatian besar terkait komitmennya dalam mencapai NDC. ***