Jumat, 25 April 2025

Paradigma Tepat Membangun Indonesia

Latest

- Advertisement -spot_img

Pembangunan harus melibatkan masyarakat agar berdampak langsung terhadap komunitasnya.  Masyarakat bisa berkreativitas, berinovasi dan berdampak positif. Maka dibutuhkan paradigma yang tepat untuk membangun Indonesia yang sangat luas ini.

Hal itu disampaikan oleh Tri Mumpuni, anggota Dewan Pengawas Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Centre for Technology and Innovation Studies (CTIS), Rabu (12/3/2025).  

Tri Mumpuni yang dikenal sebagai Pelopor pemberdaya listrik mikro di lebih dari 60 lokasi di wilayah terpencil  di Indonesia,  memaparkan bahwa ada sebuah paradigma yang tepat, sebuah alih teknologi yang berkeadilan sosial dan berkeadilan lingkungan. 

“Sejak Indonesia merdeka, sumber daya yang diberikan Tuhan belum mampu memakmurkan rakyat. Contoh: banjir dimana-mana. Sudah tahu itu daerah sungai justru ditimbun. Tempat tumbuhnya  biota laut  malah dipagar,” ungkap Tri Mumpuni.

Oleh sebab itu, paradigma yang harus dikembangkan perlu  melihat  konteks Indonesia yang memiliki wilayah sangat luas.  Paradigma yang diterapkan harus paradigma archipelago. Yakni cara pandang dalam pembangunan wilayah kepulauan yang berbasis  pada keragaman budaya, ekosistem dan kompleksitas wilayah. Bukan seperti sekarang yang masih menggunakan paradigma kontinen. 

“Paradigma kontinen memperlihatkan banyak penyeragaman, padahal itu tidak perlu harus seragam.  Melalui cara pandang archipelego ini, walau kecil tapi unik, dan tujuannya untuk memakmurkan rakyat,” kata Tri Mumpuni.

“The biggest mistake yang dibuat di dalam pemerintahan, tidak pernah memberikan kesempatan kepada rakyat untuk  mampu mengurus dirinya sendiri,” tegasnya. 

Semuanya diurus oleh negara, terjadi sentralisasi. Tri pun menyinggung soal aliran listrik untuk penerangan belum merata. Masih banyak wilayah Indonesia gelap karena tidak ada penerangan.  Masyarakat hanya menunggu kebijakan dari PLN yang notabene dari pemerintah pusat, sehingga masih banyak masyarakat yang tertinggal karena tidak ada penerangan di desanya.

“Yang selalu dipikirkan adalah pertumbuhan ekonomi maksimal. Padahal dalam pembangunan,  yang harus dipikirkan bagaimana kebahagiaan rakyat. Bagaimana rakyat  bisa beraktivitas. Maka di sini perlu sebuah pandangan tentang techno-anthropology.  Bagaimana teknologi didekatkan dengan  kemampuan masyarakat,  sehingga teknologi bisa memberikan arti positif dan benar-benar membangun kehidupan masyarakat lebih baik”.

“Kenapa demikian, karena sistem pendidikan kita saat ini hanya berdasarkan mengejar prestasi, tidak disertakan dengan logic, rasa, empati atau kolbu,” kata Tri Mumpuni.

Oleh sebab itu, dalam sistem pendidikan, otak tidak hanya  untuk meningkatkan kecerdasan namun harus juga diimbangi dengan rasa. Bukan hanya pendidikan kognitif semata seperti yang sekarang diajarkan. Murid hanya fokus proses belajar daripada hasil belajarnya.

Penerima Ashden Award dan Ramon Magsaysay Award dari Filipina ini menjalankan techno anthropology dalam membangun wilayah Indonesia. Bersama masyarakat ia membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) yang telah diakui baik di dalam negeri maupun di luar negeri.  Sudah ada lebih 60 desa yang dibantu dengan teknologi PLTMH ini.

Dampaknya bagi masyarakat sangat luas,  yang bertahun-tahun mengalami kegelapan karena tidak ada penerangan.  Jalanan kampung-kampung menjadi terang. Gairah masyarakat semakin meningkat dalam beraktivitas.

Beberapa upaya dalam membangun PLTMH, antara lain di Gayo Lues, Aceh pada tahun 2008 dan masih beroperasi hingga sekarang.

Kisah serupa juga terjadi di Sumba dan Papua dalam proyek pembangunan PLTMH berbasis komunitas.  “Semua bergerak untuk membangun dan merawat hasil karya itu. Inilah konsep paradigma pembangunan yang berkeadilan karena melibatkan masyarakat dan yang menikmati masyarakat,” ujarnya lagi.

Bersamaan dengan kegiatan pembangunan itu, Tri juga mencari anak-anak muda untuk diberikan pendampingan,  nantinya akan menjadi pioner dan champion di daerahnya dalam program Patriot Desa. Mereka yang selama ini hanya mengunyah pendidikan kognitif mulai dikenalkan dengan empati, rasa atau qolbu.

Tri mencontohkan Rumah Mocaf di Banjarnegara, Jawa Tengah digawangi anak muda lulusan UGM, yang memilih menjadi petani singkong dan melakukan hilirisasi teknologi dari singkong menjadi tepung mocaf pengganti terigu, dan telah diekspor. 

Tepung Mocaf diberi nama Rumah Mocaf ini telah menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat sekitarnya. Petani singkong pun mendapatkan manfaat nilai tambah ekonomi karena awalnya singkong hanya dihargai Rp800 per kilogram. “Kini adanya tepung mocaf, harga singkong naik,” kata Tri.

Kemudian di Yogyakarta, anak muda mendirikan Agradaya  dengan memberdayakan petani sekitar. Anak muda dari Agradaya ini mengajari petani jahe di desanya dengan cara unik. 

“Ibu-ibu diajari kalau menjual jahe tidak dengan tanahnya harganya Rp35 ribu per kg. Bila menjual jahe dalam keadaan bersih dan sudah diiris-iris harganya jadi Rp65 ribu per kg. Bila sudah menjadi bubuk jahe harganya Rp300 ribu. Ini konsep tidak bisa dilaksanakan di birokrasi. Maka percayakan pada anak-anak muda,” tegasnya.

Kemudian ada pabrik kemiri di Yogyakarta, dibangun tahun 2015. Kemiri ini diekspor ke Arab Saudi dalam kondisi sudah dikupas dalam keadaan biji kemiri utuh.  Teknologi yang dikembangkan sangat sederhana yaitu biji kemiri  dikirim dari NTT, masih terbungkus cangkang, dimasukkan ke freezer dan kulkas. Setelah beku kemudian cangkangnya dipecah melalui mesin pengupas cangkang kemiri.

Hasilnya,  biji kemiri masih utuh.  “Sekali ekspor satu kontainer seharga Rp2,3 miliar. Arab Saudi membutuhkan satu batch itu 23 ton. Pengiriman dari Yogyakarta dua kontainer, jadi sekali kirim sudah Rp4,6 miliar, hanya dari kemiri saja,” terangnya.

Indonesia sebagai penghasil rempah bisa memanfaatkan peluang ekspor selain kemiri. Di Salatiga, lahir sebuah Akademi Inovasi Indonesia. Sebuah akademi yang menggratiskan biaya kuliah.  Akademi ini menerapkan kurikulum berbasis teaching factory dan project based learning.  Di akademi ini para mahasiswa bisa langsung praktek di industri. Akhirnya para alumninya mampu menghasilkan produk-produk yang diekspor, terutama ke China dan membuka lapangan pekerjaan. 

Di Indonesia,  kepemilikan Computer Numerical Control (CNC) mungkin baru sekitar 10 ribu dan Singapura sudah  99 ribu. Dengan adanya akademi ini, maka bisa dibayangkan desa-desa yang memakai CNC akan bertambah dan produktivitas meningkat lewat penerapan industri 4.0.

Tri Mumpuni menekankan pentingnya peran techno-anthropology, yaitu pembangunan berbasis masyarakat atau sosio bisnis modern.  “Kita harus tahu persis inisiatif masyarakat, pembagunan berbasis pada masyarakat.  Local community akan memberikan respect apabila pembangunan itu memberdayakan masyarakat. Dan pembangunan itu sesuai dengan keinginan rakyat,” jelasnya. 

Dari sinilah maka local capacity terbangun dan local equity juga hadir . Sebab selama ini masyarakat hanya menjadi penonton. Selama ini, konsep berinvestasi hanya punya penguasa dan pengusaha. Padahal rakyat pun bisa berinvestasi.

“Sehingga lahir pembangunan pro kearifan lokal. Manfaatnya capability dan local capacity bisa terlihat.  Kita sebut pohon pemberdayaan. Dimana pun di dunia ada local resources dan menjadi local contribution. Itu bisa terjadi karena akarnya adalah rakyat punya motivasi  dan kreativitas,” katanya. ***

- Advertisement -spot_img

More Articles