Minggu, 24 November 2024

Turunkan Laju Deforestasi dan Karhutla, Penegakan Hukum Multidoor Perkuat Aksi Iklim Indonesia

Latest

- Advertisement -spot_img

Pemerintah Indonesia telah melaksanakan strategi penegakan hukum dengan berbagai instrumen hukum atau multidoor sebagai bagian dari aksi pengendalian perubahan iklim. Dampaknya adalah semakin turunnya laju deforestasi dan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) sehingga emisi gas rumah kaca (GRK) dapat ditekan.

Dirjen Penegakkan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rasio Ridho Sani mengatakan berbagai undang-undang dan peraturan telah memberi mandat penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan.

“Penegakan hukum mulai dari sanksi administrasi, pidana, perdata, dengan berbagai instrumen hukum termasuk pencucian uang adalah mandat dari UU terkait dengan litigasi iklim,” kata Rasio saat membuka diskusi panel bertajuk “Indonesia Actions in CLimate Litigation” di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim COP29 UNFCCC di Baku, Azerbaijan, Rabu, 20 November 2024.

Rasio menjelaskan instrumen hukum pencucian uang perlu dilakukan karena dana hasil kejahatan lingkungan hidup dan kehutanan kemudian digunakan untuk kejahatan lainnya.

“Penyelidikan pencucian uang itu penting untuk melawan tindakan ilegal terkait lingkungan hidup dan kehutanan karena kebanyakan keuntungan finansial yang didapat dari aktivitas ilegal biasanya digunakan untuk aktivitas ilegal lain,” kata Rasio Ridho.

Dia memberikan, contoh bagaimana pendapatan dari aksi pembalakan liar dapat digunakan oleh oknum tertentu untuk melakukan penambangan dan perkebunan liar serta berbagai kegiatan ilegal lain.

Untuk itu, Rasio menyoroti pentingnya penggunaan berbagai rezim hukum baik pidana maupun perdata sebagai bagian dari pendekatan multidoor, yang menggunakan berbagai aturan perundang-undangan untuk menangani kejahatan lingkungan hidup dan kehutanan.

“Sudah banyak inisiatif dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terkait litigasi iklim termasuk apa yang kami sebut sebagai strict liability untuk memastikan korporasi atau individu yang aktivitasnya merusak lingkungan bertanggung jawab penuh atas dampak yang ditimbulkan,” jelasnya.

Dia juga menyampaikan bahwa Indonesia sudah melakukan langkah serius menangani kasus hukum lingkungan hidup dan kehutanan yang berkait dengan pencucian uang. Selain juga berkolaborasi dengan Kejaksaan Agung serta Mahkamah Agung untuk menyusun pedoman untuk penanganan kasus lingkungan hidup dan kehutanan.

Hasilnya, kata Rasio Ridho Sani, tingkat kebakaran hutan dan lahan serta kemunculan titik panas (hotspot) di Indonesia sudah berkurang drastis sejak penegakan hukum dilakukan dari luasan 2,6 juta hektare terbakar pada 2015 menjadi 204.894 hektare pada 2022 dan 1,1 juta hektare pada 2023.

Pihaknya juga sudah berhasil memenangkan sejumlah kasus terkait penanganan sampah ilegal, termasuk penahanan pelaku atau pengelola tempat pembuangan akhir (TPA) ilegal serta denda yang mencapai miliaran rupiah.

Sementara itu Director of Principal Legal Adviser UNFCCC Christine Adam mengingatkan  bahwa perubahan iklim adalah akibat dari perbuatan manusia. “Semua sektor harus terlibat untuk untuk memastikan pemanasan global tidak lebih dari 1,5 derajat celcius,” katanya.

Christine menekankan pentingnya pendekatan hukum sebagai katalis dalam menghadapi krisis iklim. Dia merespons positif fenomena penggunaan pendekatan hukum di berbagai belahan dunia.

Turut menjadi pembicara pada diskusi tersebut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan Hukum Mahkamah Konstitusi Bambang H Mulyono,  Koordinator Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung Neva Sari Susanti, Analis Transaksi Keuangan Pusat Pelaporan dan Transaksi keuangan, Fuad Hasan, dan Direktur Eksekutif Indonesian Center for environmental Law Raynaldo G Sembiring. ***

- Advertisement -spot_img

More Articles