Center for Technology & Innovation Studies (CTIS) menilai Indonesia memiliki banyak potensi untuk mendukung kebijakan Transisi Energi dari energi fosil menuju energi hijau.
Demikian terungkap saat pertemuan CTIS, di Jakarta, Rabu 7 Juni 2023.
“Indonesia memiliki banyak potensi sumber daya energi untuk bergerak ke kebijakan transisi dari energi fosil menjadi energi yang lebih hijau guna mencapai target NZE 2060, namun perlu terus didukung dengan perencanaan yang rinci dan berlanjut,” demikian ditegaskan Ketua Komisi Energi, Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Dr. Unggul Priyanto, yang juga Perekayasa Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Mengacu pada Perjanjian Paris 2015, Indonesia ditargetkan mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih awal. NZE berarti jumlah karbon yang diemisikan dan yang diserap adalah nol.
Di sini peluang dan tantangan harus dihadapi sektor energi, karena bila tidak maka dampak perubahan iklim di Nusantara akan tak terkendali.
Fenomena perubahan iklim kini sudah terjadi seperti peningkatan suhu di permukaan, kenaikan muka laut yang mengakibatkan 1.800 kilometer garis pantai masuk kategori rentan, ditambah lagi gelombang laut ekstrim yang meningkat hingga diatas 1,5 meter, dan turunnya produksi padi di beberapa wilayah.
Dalam Pertemuan CTIS tersebut dipaparkan potensi energi hijau yang dimiliki Indonesia untuk menggantikan energi fosil, seperti energi surya, energi air, bio energi, angin, panas bumi dan gelombang laut.
Total potensi Energi Baru dan Terbarukan (EBT) ini mencapai 3.686 GigaWatt, namun saat ini baru dimanfaatkan sekitar 12 GigaWatt saja.
Penggunaan energi fosil masih tetap tinggi, seperti batubara untuk pembangkit listrik mencapai 73%, belum lagi penggunaan BBM untuk sektor transportasi yang volume impornya terus meningkat dari waktu ke waktu.
Indonesia dinilai sebagai penghasil emisi karbon nomor lima terbanyak di Dunia sesudah AS, Tiongkok, India dan Brazil.
Unggul Priyanto menyodorkan berbagai pilihan dalam transisi energi di Indonesia ini, seperti peningkatan efisiensi pembangkit dengan penerapan boiler super-critical dan ultra super-critical .
Juga, pembangunan pembangkit listrik di mulut tambang batubara, seperti yang sudah digagas oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), sejak 30 tahun yang lalu.
Di bidang transportasi, komponen bahan bakar minyak (BBM) masih sangat besar dengan pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor sekitar 5% pertahun.
Ini jelas menguras devisa karena Indonesia harus mengimpor BBM sekitar 700 ribu hingga 800 ribu barel minyak bumi per hari. BBM harus dialihkan ke Bahan Bakar Gas (BBG) dan ke Bahan Bakar Nabati (BBN).
Unggul merekomendasikan perlunya dirintis pembangunan kilang minyak nabati sehingga Indonesia semakin mandiri dalam pemanfaatan biofuel.
Di sisi lain, penggunaan kendaraan listrik perlu terus didorong.
Ahli Energi Terbarukan CTIS, Dr. Arya Rezavidi menyodorkan pilihan penggunaan transportasi massal bertenaga listrik, termasuk penggunaan diesel elektrik seefisien mungkin di jalur-jalur kereta api.
Energi listrik untuk memasak juga perlu lebih dipacu untuk mengurangi penggunaan gas LPG yang bersumber dari impor dan terus meningkat. Impor LPG tahun 2016 mencapai 4,48 juta ton dengan nilai Rp20,5 triliun.
Upaya penggunaan energi listrik untuk berbagai sektor kehidupan perlu terus didorong mengingat saat ini PLN kelebihan pasokan listrik.
“Tapi itu sementara, tahun 2028 nanti kita sudah tidak ada kelebihan pasokan dan sudah harus merencanakan pembangunan pembangkit listrik lagi untuk 10 tahun kedepan,” demikian tanggapan M. Fathor Rahman, pakar Markal di CTIS.
Di sini, perencanaan perlu dibuat secara rinci dan dengan tetap berpegang pada perencanaan yang sudah disepakati. Kebijakan energi harus bersifat jangka menengah dan panjang karena investasi yang dibenamkan pada sektor ini cukup besar.
Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang menjangkau hingga tahun 2050 harus diimplementasikan dan dievaluasi secara periodik.
Teknologi Market Allocation (MARKAL) untuk perencanaan energi dan bauran energi yang telah diterapkan oleh BPPT sejak 35 tahun lalu dan sekarang terus dipakai, perlu selalu diperbaharui untuk kajian dan evaluasi secara periodik.
Ke depan, Unggul Priyanto menyatakan perlunya terus dikaji tentang penerapan pembangkit listrik tenaga nuklir di Indonesia mengingat pembangkit energi nuklir mampu menghasilkan pasokan listrik dalam jumlah besar, kontinyu dan ramah lingkungan.
Sebanyak 10% pasokan listrik dunia saat ini menggunakan energi nuklir. ***