Upaya restorasi ekosistem gambut memerlukan kolaborasi yang melibatkan lima pihak penting yang biasa disebut pentahelix yaitu pemerintah, akademisi, masyarakat, pelaku usaha dan media massa.
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong mengatakan restorasi gambut harus dilakukan dalam satu kesatuan hidrologis gambut (KHG) dimana banyak pihak terlibat dan memiliki kepentingan.
“Restorasi gambut butuh pentahelix karena orkestrasi dalam pengelolaan gambut melibatkan banyak pihak. Ada swasta, pemerintah, perkebunan, tidak bisa berdiri sendiri,” kata Alue pada Workshop Succes Story Restorasi Ekosistem Gambut di Jakarta, Rabu, 19 Juni 2024.
Alue juga mengatakan pentingnya keterlibatan akademisi karena pengelolaan gambut harus berdasarkan kajian ilmiah (scientific based). Dia mengatakan salah satu bentuk scientific based policy dalam pengelolaan gambut adalah penetapan tinggi muka air tanah (TMAT) paling rendah 0,4 meter dari permukaan seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (PP Gambut).
Alue menambahkan dengan kondisi ekosistem gambut saat ini batas tinggi muka air gambut paling rendah 0,4 meter perlu dievaluasi kembali melalui kajian-kajian ilmiah yang dilakukan oleh para akademisi.
Upaya restorasi yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah berhasil memulihkan ekosistem gambut di dalam areal konsesi seluas 3,9 juta hektare dimana 2,3 juta hektare berada di lahan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan 1,6 juta hektare berada di lahan perkebunan. Sebanyak 30.404 unit sekat kanal telah dibangun dan ada 10.838 Titik Penaatan TMAT.
Sementara luas areal pemulihan gambut yang berada di lahan masyarakat mencapai 52.430 hektare. Selain itu, ada juga restorasi gambut yang dilakukan oleh Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) yang luasnya telah mencapai 1,6 juta hektare.
Indonesia merupakan negara pemilik gambut tropis terluas di dunia mencapai 13,4 juta hektare.
Wakil Ketua Komite Multi Usaha Kehutanan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Iwan Setiawan mengungkapkan efektivitas sekat kanal untuk merestorasi gambut. Ia juga memaparkan upaya restorasi yang dilakukan di salah satu lokasi di konsesi pemasok APP Group mulai Mei 2015.
Lokasi tersebut sebelumnya merupakan HTI aktif tetapi kemudian ‘dipensiunkan’ karena berada di lokasi kritis berdasarkan pemetaan dengan teknologi LiDAR.
“Sebanyak 257 bendungan dibangun untuk menutup kanal di dalam dan sekitar kawasan restorasi seluas 4.800 hektare,” katanya.
Berdasarkan pengamatan selama 7 tahun, lokasi yang direstorasi menunjukkan proses perubahan kembali menuju hutan alam. Tumbuhan yang merupakan spesies asli mulai kembali secara alami yang menunjukkan restorasi tanpa bantuan penanaman pohon asli adalah pendekatan yang layak.
_________
Terkait kolaborasi restorasi gambut, sebelumnya, Penanggung Jawab Operasional International Tropical Peatland Center (ITPC) Agus Justianto pada Global Landscape Forum (GLF) Peatland 2024 di Bonn, Jerman, mengatakan Indonesia membuka pintu bagi dunia Internasional untuk mendukung restorasi dan perbaikan pengelolaan lahan gambut yang kaya karbon demi menyokong tercapainya target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK).
“Sebagai pemilik lahan gambut tropis terluas di dunia, Indonesia terbuka untuk menerima dukungan multilateral untuk mencapai target restorasi dan perbaikan pengelolaan hidrologis gambut,” kata dia.
Agus melanjutkan, dukungan multilateral untuk perbaikan manajemen ekosistem gambut bisa disalurkan melalui International Tropical Peatlands Center (ITPC) yang berkantor pusat di Bogor. ITPC diinisiasi oleh Indonesia, Kongo, dan Republik Demokratik Kongo untuk mendukung pengelolaan lahan gambut tropis berkelanjutan. Menurut Agus, melalui ITPC kerja sama multilateral diharapkan semakin meningkat untuk memperbaiki pengelolaan ekosistem gambut di Indonesia dan juga di Negara-negara pemilik gambut tropis lainnya. ***