Kementerian Kehutanan menyatakan bahwa proses perizinan PT Sumber Permata Sipora (PT SPS) di Pulau Sipora, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, tidak terlepas dari persoalan tumpang tindih lahan dengan masyarakat hukum adat. Situasi ini menjadi salah satu pertimbangan penting sebelum izin pemanfaatan hutan diberikan.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama Luar Negeri Kementerian Kehutanan, Krisdianto, menegaskan pemerintah mengutamakan prinsip kehati-hatian dengan mempertimbangkan seluruh aspek sosial, termasuk hak masyarakat adat.
“Proses izin ini tidak hanya soal dokumen teknis, tetapi juga keterlibatan masyarakat yang sudah lama hidup di kawasan tersebut,” ujarnya dalam media briefing di Jakarta, Senin (25/8/2025).
Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat, Julmansyah, mengungkapkan ada dua kelompok masyarakat hukum adat (MHA) di Pulau Sipora yang wilayah adatnya tumpang tindih dengan izin PT SPS.
MHA Uma Sakerebau Mailepet mengalami overlap seluas 5.920 hektare, sementara MHA Uma Sibagau seluas 1.017 hektare. Total overlap mencapai 6.937 hektare dari usulan PBPH PT SPS yang seluas 20,71 ribu hektare.
Julmansyah menjelaskan proses pengakuan masyarakat hukum adat di Mentawai telah berlangsung lama, dimulai sejak terbitnya Peraturan Daerah Kabupaten Mentawai Nomor 11 Tahun 2017 tentang pengakuan Uma, serta diperkuat dengan Surat Keputusan Bupati pada 2021.
“Kami sedang mencari penyelesaian agar PBPH dapat berjalan, tetapi masyarakat hukum adat juga tetap memiliki ruang hidup lewat pengakuan hak mereka,” ujarnya.
Kementerian Kehutanan memastikan bahwa pengajuan PBPH PT SPS akan ditelaah secara komprehensif dengan memperhatikan aspirasi masyarakat adat, sejalan dengan komitmen percepatan pengesahan hutan adat di seluruh Indonesia. ***