Untuk menjadi negara maju pada tahun 2045, Indonesia harus mendorong kemajuan industri manufakturnya. Hasil pengolahan Data Bank Dunia, BPS dan Bappenas menunjukkan bahwa sumbangsih industri manufaktur di Indonesia pada tahun 2024 baru mencapai 18% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Untuk menjadi negara maju maka sumbangsih PDB dari industri manufaktur minimal harus mencapai 28% dari PDB. Untuk itu, perlu diambil langkah-langkah strategis dan rencana aksi jangka pendek hingga jangka menengah dan panjang, dengan terus meningkatkan kandungan teknologi industri manufaktur di dalam negeri, dari teknologi rendah menuju ke teknologi menengah dan teknologi tinggi.
Demikian kesimpulan Diskusi Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Rabu, 20 November 2024. Berbicara pada diskusi dengan topik “Mengakselerasi Industrialisasi Indonesia” adalah Ir. Agus Tjahajana Wirakusumah MSc., Alumnus ITB dan Pendiri Industrial System Engineering Development Center (ISEDC). Bertindak sebagai moderator, Dr. Ashwin Sasongko, Ketua Komite Teknologi Informatika dan Telekomunikasi CTIS.
“Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi negara maju dan salah satu ciri negara maju ada pada peran dan sumbangsih sektor industri manufaktur yang signifikan,” kata Agus Tjahjana pada awal diskusi.
Agus, yang juga mantan Dirjen dan Sekjen di Kementerian Perindustrian, menyampaikan bahwa dari data Bank Dunia tentang negara berbasis manufaktur Dunia, pada tahun 1990 Indonesia ada pada peringkat 18, Republik Korea pada peringkat 16 dan Tiongkok pada peringkat 8.
Setelah 33 tahun kemudian, tahun 2023, industri manukfatur Indonesia ada pada posisi 10, Korea pada posisi 6 dan Tiongkok pada posisi 1 di Dunia. Jika membandingkan pendapatan per-kapita, Korea pada tahun 1960 memiliki pendapatan per-kapita 158 dolar AS dan Indonesia 597 dolar AS.
Sedang pada tahun 2023, Korea melejit mencapai pendapatan per-kapita 33.000 dolar AS, sedang Indonesia ada pada 4.870 dolar AS. “Ini tiada lain karena Korea mendorong industri manufakturnya semaksimal mungkin dengan teknologi dan sumberdaya manusia, mengingat Korea miskin sumberdaya alam,” katanya.
Agus menjelaskan bahwa, secara bertahap, industri manufaktur harus didorong dari industri berteknologi rendah menjadi industri berteknologi menengah dan teknologi tinggi, mengingat nilai tambah yang tinggi diperoleh dari industri yang berteknologi menengah dan tinggi.
Ada 6 industri di Indonesia yang menyumbang hingga 70% dari PDB sektor industri, 40% didominasi industri makanan dan minuman, disusul industri batubara dan pengilangan migas (Non-Migas), industri alat angkutan, industri barang logam, komputer, barang elektronik, optik; dan peralatan listrik, industri kimia, farmasi dan obat tradisional dan industri tekstil dan pakaian jadi. Sub-sektor yang terakhir ini, walaupun hanya menyumbang 5,2% PDB-Industri, namun membuka banyak lapangan kerja, sehingga saat industri tekstil banyak yang tutup seperti saat ini, terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja dan meningkatnya jumlah pengangguran.
Bagaimana memecahkan masalah ini? Sebagai langkah awal jangka pendek, Agus mengusulkan agar segera membangkitkan kembali 8 industri yang saat ini tengah lesu, yaitu industri permesinan dan komponen, industri obat-obatan, industri perikanan dan agroindustri, industri elektronika, industri alas kaki, industri barang kayu dan furniture, industri pengolahan tembakau dan industri tekstil.
Kepada Pemerintah, Agus mengharapkan kiranya pemberantasan impor ilegal lebih digencarkan, utamanya untuk melindungi pasar dalam negeri dari serbuan barang impor illegal, lalu menetapkan pelabuhan pelabuhan tertentu untuk masuknya barang impor, serta percepatan pelaksanaan penerapan instrumen trade remedy – World Trade Organization (WTO), seperti kebijakan anti-dumping, countervailing duties dan safeguards.
Untuk langkah selanjutnya adalah mengangkat produk industri manufaktur berteknologi rendah, seperti industri makanan dan minuman, industri alas kaki, industri kertas, industri kayu menjadi industri berteknologi menengah dan bahkan berteknologi tinggi.
Pemerintah perlu mendukung dengan regulasi yang konsisten, seperti pengalaman pengembangan industri otomotif di tanah air, sejak dekade 1980-an, diawali dengan melindungi produk otomotif dalam negeri lewat pengenaan pajak 200% bagi kendaraan impor built-up dari luar negeri.
Hasilnya, Indonesia pada tahun 2023 berhasil mengekspor 505.134 unit kendaraan dengan nilai ekspor sekitar 6,12 miliar dolar AS, dan tingkat komponen dalam negerinya (TKDN) sudah mendekati 80%.
Untuk mendorong ekspor, perlu ditingkatkan insentif perpajakan dan insentif non-pajak bagi eksportir-eksportir Indonesia. Sebagai contoh, bea-masuk produk impor ke Indonesia dikenakan tarif 8%, di negara-negara setara dengan Indonesia, tarif bea-masuknya lebih tinggi, seperti 17% di India, 11.2% di Brasil dan 13.4% di Korea. Ini semua tiada lain untuk melindungi industri dalam negeri mereka masing-masing.
Agus Tjahjana juga menegaskan bahwa Indonesia belum memanfaatkan secara maksimal Free Trade Agreement (FTA) yang telah disepakati dengan beberapa negara. Pada tahun 2023 lalu, Indonesia masih mengalami defisit perdagangan dengan Australia, Korea dan Selandia Baru. Memang, tahun 2023 perdagangan Indonesia dengan Tiongkok surplus US$ 6.2 milyar, namun ini bukan karena ekspor produk manufaktur, tetapi karena ekspor komoditas tunggal RI secara besar besaran ke Tiongkok, yaitu nikel. ***