Bencana banjir yang melanda berbagai wilayah, khususnya di Jabodetabek, menjadi pengingat pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem, terutama di kawasan hutan pada hulu Daerah Aliran Sungai (DAS).
Kementerian Kehutanan mengambil langkah tegas dalam upaya perlindungan hutan dan pemulihan DAS guna mencegah dampak lebih lanjut dari alih fungsi lahan yang tidak terkendali.
Dalam media briefing di Jakarta, Direktur Jenderal Penegakan Hukum (Gakkum) Kehutanan, Dwi Januanto Nugroho, mengungkapkan bahwa alih fungsi lahan di kawasan hulu DAS Ciliwung, DAS Kali Bekasi, dan DAS Cisadane telah memperburuk kondisi lingkungan dan meningkatkan risiko banjir serta longsor.
Kawasan yang seharusnya menjadi daerah resapan kini berubah menjadi permukiman dan bangunan komersial.
Sebagai langkah konkret, Kementerian Kehutanan bekerja sama dengan Kementerian ATR/BPN dalam operasi penertiban kawasan hutan untuk menyelamatkan DAS.
Operasi ini dilakukan pada 9-11 Maret 2025 di Kabupaten Bogor, meliputi Kecamatan Cisarua, Sentul, dan Jonggol. Sementara itu, operasi lanjutan dilaksanakan pada 17-19 Maret 2025 di sepanjang DAS Cisadane.
Hasil operasi menemukan banyak bangunan tanpa izin di dalam kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan kawasan konservasi. Tim gabungan telah memasang papan pengawasan di 50 titik serta meminta keterangan dari pemilik bangunan dan pelaku usaha yang diduga melanggar aturan.
Januanto menegaskan bahwa penegakan hukum harus diimbangi dengan upaya pemulihan fungsi hutan demi menjaga keseimbangan ekosistem.
Ia juga menyoroti pentingnya sinergi antar kementerian dan pemerintah daerah dalam program mitigasi bencana. Di bagian hulu DAS, perlu dilakukan rehabilitasi hutan dan pengendalian alih fungsi lahan, sedangkan di bagian tengah perlu ada pemulihan ekosistem melalui penanaman dan pembangunan embung.
Di bagian hilir hingga muara, langkah-langkah seperti pengerukan sungai dan penanaman hutan harus dilakukan.
Sementara itu, Dirjen Pengendalian DAS dan Rehabilitasi Hutan (PDASRH), Dyah Murtiningsih, menjelaskan bahwa penyebab utama banjir adalah alih fungsi lahan yang seharusnya berstatus kawasan lindung, terutama di Areal Penggunaan Lain (APL).
Hal ini menyebabkan berkurangnya daerah resapan dan meningkatnya limpasan air. Selain itu, penyempitan alur sungai, seperti di DAS Ciliwung yang menyempit dari 11 meter menjadi hanya 3 meter, turut memperburuk kondisi banjir.
Faktor lain yang memperparah adalah sedimentasi tinggi di DAS Kali Bekasi dan minimnya sistem drainase serta resapan air.
Sebagai solusi, Kementerian Kehutanan akan melakukan rehabilitasi hutan dan lahan melalui penanaman serta penerapan teknik konservasi tanah dan air, termasuk pembangunan DAM pengendali dan DAM penahan untuk menahan sedimen dan mengatur aliran air.
Selain itu, diperlukan upaya perbaikan sistem drainase di pemukiman, pembuatan sumur resapan, serta review tata ruang agar kawasan dengan topografi miring tetap memiliki fungsi lindung meskipun berada di APL.
“Ini momen yang baik bagi semua pihak untuk bersinergi dalam mengatasi bencana hidrometeorologi dan mengambil langkah nyata ke depan,” tutup Dyah. ***