Jumat, 25 April 2025

Kemenhut Beberkan Alasan Sesungguhnya Pencabutan 18 PBPH Seluas 526.144 Hektare, Terungkap Blak-blakan

Latest

- Advertisement -spot_img

Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni secara resmi telah mencabut 18 Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang tersebar di 12 provinsi dengan total luas mencapai 526.144 hektare.

Pencabutan tersebut pertama kali diumumkan Menteri Raja Juli usai menghadap Presiden Prabowo Subianto di Istana Presiden, Jakarta, Senin (3/1/2025) lalu. Sementara Surat Keputusan (SK) pencabutan untuk setiap PBPH ditandatangani Menhut selang tiga hari kemudian.

Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) Dida Mighfar Ridha, di Jakarta, Jumat (21/2/2025) mengumumkan 18 PBPH yang dicabut yakni PT Plasma Nutfah Marind Papua seluas ±64.050 ha di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua, PT Hutan Sembada (±10.260 hektare/Kalimantan Selatan), PT Rimba Dwipantara (±9.930 ha/Kalimantan Tengah), PT Zedsko Permai (±30.525 ha/Sulawesi Selatan), PT Rencong Pulp dan Paper Industry (±10.384 ha/Aceh) PT. Multikarya Lisun Prima (±28.885 ha/Sumatera Barat) PT. Satyaguna Sulajaya (±27.740 ha/Sulawesi Tengah)

Kemudian PT Batu Karang Sakti (±43.327 ha/Kalimantan Utara), PT Cahaya Mitra Wiratama (±18.290 ha/Kalimantan Timur), PT Sari Hijau Mutiara Seluas (±20.000 ha/Riau, PT. Janggala Semesta (±12.380 ha/Kalimantan Selatan), PT Maluku Sentosa (±11.504 ha/Maluku).

Lalu ada PT Talisan Emas (± 54.750 ha/Maluku), PT Wanakayu Batuputih (42.500 ha/Kalimantan Barat), PT Kayna Resources (±45.675 ha/Kalimantan Barat), PT East Point Indonesia (±50.665 ha/Kalimantan Tengah), PT Cahaya Karya Dayaindo (±35.340 Ha/Kalimantan Barat) dan PT Wana Dipa Perkasa (± 8.355 ha/Kalimantan Selatan).

Dida menjelaskan dalam penerbitan PBPH, pemerintah memberikan hak dan juga menetapkan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemegang PBPH sesuai ketentuan yang berlaku, dan akan dilakukan pengawasan.

Hak dan Kewajiban PBPH telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan serta turunannya, yaitu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 8 Tahun 2021 tentang Tata hutan, rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan di hutan lindung dan hutan produksi.

Berdasarkan ketentuan itu ada 19 kewajiban yang harus dipenuhi oleh PBPH sebagaimana diatur dalam Pasal 156 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021.

“Diantaranya adalah menyusun rencana kerja usaha 10 tahunan, menyusun rencana kerja tahunan, melaksanakan kegiatan nyata di lapangan paling lambat 1 tahun setelah terbitnya PBPH, penataan areal kerja dan beberapa kewajiban lain yang diharapkan mengikat unit PBPH untuk tetap melakukan aktivitas kegiatan di lapangan,” katanya.

Dida mengatakan, jika pemegang PBPH tidak memenuhi kewajibannya maka Menteri Kehutanan dapat melakukan pengenaan sanksi administratif terhadap PBPH.

Sanksi yang diberikan oleh pemerintah terhadap PBPH berupa teguran tertulis, denda administratif, pembekuan PBPH dan atau pencabutan terhadap PBPH.

“Jika pemegang PBPH tidak memenuhi kewajibannya, maka Menteri Kehutanan dapat melakukan pengenaan sanksi administratif terhadap PBPH,” kata Dida.

Sanksi diberikan setelah melewati proses evaluasi dan penilaian kinerja. Tim evaluasi terdiri dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari, Dinas Provinsi, Unit Pelaksana Teknis Kesatuan Pengelolaan Hutan, dan pengawas kehutanan di daerah. Jika ditemukan pelanggaran, usulan pencabutan izin diajukan ke Menteri Kehutanan untuk disahkan melalui keputusan resmi.

Dida mengatakan, usai pencabutan 18 PBPH tersebut maka kawasan hutan eks konsesinya akan kembali dikelola negara. Selanjutnya akan dilakukan penelaahan atas kondisi tutupan lahan, potensi hasil hutan/jasa lingkungan, kondisi topografi, keberadaan masyarakat sekitar dan juga aksesibilitas areal tersebut.

“Berdasarkan hasil penelaahan maka areal dimaksud dapat dialokasikan kembali untuk pemberian PBPH, untuk pemanfaatan/ penggunaan lain dan atau kebijakan yang ditetapkan pemerintah,” katanya.

Dida menegaskan usai pencabutan tersebut maka pihak PBPH diperintahkan untuk menghentikan semua kegiatan dalam bentuk apapun di dalam areal eks konsesinya, semua barang tidak bergerak menjadi milik negara kecuali aset tanaman hasil budidaya, melunasi segala kewajiban finansial serta memenuhi kewajiban lain yang telah ditetapkan oleh pemerintah. ***

- Advertisement -spot_img

More Articles