Indonesia memiliki prospek yang sangat besar untuk memanfaatkan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture and Storage/CCS) sebagai bagian dari aksi pengendalian perubahan iklim. Riset dan pengembangan perlu terus dilakukan agar teknologi CCS bisa dirasakan manfaatnya.
Kepala Badan Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ary Sudijanto menyatakan, teknologi CCS dapat menjadi solusi di tengah kenyataan bahwa batubara masih belum dapat ditinggalkan sebagai salah satu sumber energi di Indonesia.
“Teknologi CCS menangkap karbon sebelum sampai ke atmosfer dan kemudian diinjeksikan ke dalam sumur migas yang tidak aktif atau sumur saline aquifer,” kata Ary Sudijanto saat menyampaikan pidato kunci melalui video pada diskusi bertajuk “Prospect of CCS Technologies in Tropical Archipelagic Countries” di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim COP29 UNFCCC di Baku, Azerbaijan, Jumat, 16 November 2024.
Dia menjelaskan, Indonesia secara geografis memiliki potensi untuk menjadi pusat CCS (CCS Hub) karena memiliki formasi geologi yang luas untuk dimanfaatkan sebagai tempat penyimpanan karbon. Secara geografis, Indonesia juga memiliki keuntungan karena dapat memberi layanan bagi sejumlah negara tetangga.
Lebih lanjut Ary mengatakan CCS dapat mendukung pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca dalam dokumen NDC sebesar mencapai 31,89% dengan upaya sendiri dan sebesar 43,2% apabila mendapatkan dukungan internasional.
Sementara itu, Staf Ahli Bidang Perencanaan Strategis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Muhammad Idris Froyoto Sihite mengungkapkan Indonesia memiliki total potensi daya tampung karbon sebesar 577,62 giga ton CO2 yang terdiri dari 572,77 giga ton CO2 di saline aquifer serta 4,85 giga ton CO2 di sumur tak aktif minyak dan gas.
“Kami percaya potensi kapasitas penyimpanan karbon di Indonesia dapat mendukung upaya menjadi CCS hub di ASEAN,” ujar Idris.
Senior Vice President Technology Innovation Pertamina Oki Muraza menjelaskan soal penerapan teknologi CCS di Pertamina. Menurut dia, saat ini telah dilakukan beberapa studi di Pertamina dengan potensi kapasitas penyimpanan karbon hingga 7 gigaton CO2 yang dapat mendukung pemenuhan target net zero emission Indonesia.
Untuk bisa merealisasikan potensi ini pelaksanaan CCS membutuhkan ekosistem yang solid, mulai dari identifikasi sumber CO2, transportasi, injeksi hingga basin penyimpanannya. “Tantangan utama adalah biaya penangkapan karbon yang tinggi. Oleh karena itu, kami sedang mengembangkan kapasitas domestik untuk teknologi ini,” kata Oki.
Proyek CCS memerlukan modal besar, teknologi canggih, infrastruktur, dan regulasi yang mendukung. Pemerintah Indonesia telah mulai mengeluarkan regulasi, seperti Perpres 2024 untuk mendukung implementasi CCS dan perdagangan karbon.
“Kami juga membutuhkan insentif fiskal untuk membuat proyek ini layak secara ekonomi. Kerja sama internasional sangat penting. Pertamina telah menempuh berbagai kerjasama strategis dengan mitra internasional untuk mewujudkan inisiatif ini,” kata Oki. ***