Sabtu, 27 Juli 2024

Indonesia Keluar Daftar 10 Besar Emiter Gas Rumah Kaca, Kepala BMKG Ungkap Faktanya

Latest

- Advertisement -spot_img

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Prof Dwikorita Karnawati, mengatakan Indonesia saat ini tidak lagi masuk dalam daftar 10 besar negara penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK).

Kepastian tersebut menurut Dwikorita didapatkan merupakan hasil pemantauan dari alat global greenhouse watch yang memonitor GRK.

“Ternyata emisi kita kita di bawah rata rata global. Sebelumnya kita masuk sepuluh besar penghasil rumah kaca di dunia dan ini tidak bagus. Dengan adanya pemantauan global greenhouse watch ini ternyata rata-rata emisi GRK kita di bawah global, sehingga keluar dari sepuluh besar penghasil gas rumah kaca,” kata Dwikorita Karnawati dalam Diskusi Temu Bisnis dan Forum Investasi yang bertajuk “Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim” di gedung University Club UGM, Jumat, 9 Juni 2023.

Dwikorita menyebutkan tahun lalu Indonesia masih masuk dalam daftar sepuluh besar negara penyumbang GRK di dunia.

Adanya pemasangan alat pemantau emisi GRK global greenhouse watch menurut Dwikorita semakin bisa mengontrol emisi GRK di tanah air. Ia menyebutkan ada global greenhouse watch yang dipasang di seluruh dunia.

“Alat ini sebagai pengawas atmosfer global. Satu diantaranya ada di BMKG. Tugasnya memonitor GRK penyebab utama terjadinya pemanasan global. Kita diharapkan nantinya bisa memahami secara mendalam dimana sumber GRK di tingkat lokal. Saya kira perlu keterlibatan perguruan tinggi untuk memantau dan menganalisis,” ujarnya.

Dalam pemaparannya, Dwikorita menjelaskan emisi GRK terdiri atas senyawa CO2, CH4 dan N20 yang memiliki kecenderungan meningkat dalam beberapa dekade terakhir.

Kekeringan akibat pemanasan global dengan kenaikan suhu bumi 1-2 derajat celcius telah mengakibatkan bencana kekeringan dan banjir di belahan dunia.

“Tidak hanya kekeringan, kondisi ketersediaan sumber daya air makin rendah baik di negara maju maupun negara berkembang,” katanya.

Perubahan iklim akibat pemanasan global juga mengancam ketahanan pangan global.

“Diprediksi oleh FAO pada tahun 2050 sekitar 500 juta petani yang menghasilkan 80 persen produk pangan global akan kena dampak, kelaparan dimana-mana, nanti tidak ada negara yang bisa saling menolong, karena kekurangan pangan masing-masing,” katanya.

Dampak perubahan iklim ini menurutnya kian nyata sehingga bisa mengganggu kestabilan ekonomi dan politik dunia, bukan hanya dampak pandemi dan perang.

Menurutnya perlu dilakukan mitigasi untuk memantau emisi GRK dan mitigasi perubahan iklim agar dampak pemanasan global bisa dikurangi. ***

More Articles