Kamis, 20 Maret 2025

Indonesia dalam Mengelola Kawasan Potensi Konflik Menjadi Kawasan Kerja Sama

Latest

- Advertisement -spot_img

Frasa Latin: “Si vis pacem, para bellum”, memiliki makna ”Jika ingin damai, bersiaplah untuk perang”.  Implementasinya untuk negara maritim adalah memiliki kekuatan untuk pertahanan, keamanan, dan keselamatan di laut serta melaksanakan beragam aktivitas masyarakat di laut. 

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di Dunia perlu menghayati dan meyakini frasa tersebut. 

Demikian kesimpulan Diskusi Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Rabu 5 Februari 2025. 

Berbicara pada diskusi yang mengambil topik: “Dinamika Geo-Maritim Kawasan Indo-Pasifik: Indonesia dalam Mengelola Kawasan Potensi Konflik Menjadi Kawasan Kerja Sama”, adalah Laksamana (Purn) Prof. Dr. Marsetio, Guru Besar Universitas Pertahanan dan Kepala Staf TNI AL 2012 – 2014.  Bertindak sebagai moderator Dr. Nadirah Wakil Sekjen CTIS dan ahli lingkungan hidup BRIN.

Marsetio memulai paparannya tentang Indonesia sebagai Negara Kepulauan terbesar di Dunia, yang diakui dalam United Nations Convention on Law Of The Seas 1982 (UNCLOS ’82), atau Hukum Laut Internasional, dan sudah diratifikasi oleh 168 Negara. Dalam UNCLOS ’82 disebutkan bahwa luas laut teritorial Indonesia diukur sejauh 12 mil dari titik terluar pulau terluar Indonesia, yang dikenal sebagai titik pangkal atau base point

Titik-titik pangkal tadi sambung menjambung menjadi garis pangkal, atau base line.  Dengan demikian, wilayah kedaulatan laut teritorial Indonesia mencapai 3,1 juta kilometer persegi.  Di wilayah laut ini kita berhak memancangkan sang merah putih. 

Kemudian, ada wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) diukur 200 mil dari garis pantai.  Luas ZEE Indonesia mencapai 2,7 Juta Kilometer persegi.  Di ZEE, Indonesia tidak memiliki kedaulatan di laut, namun segala sumber daya ekonomi di atas air, di dalam laut, di dasar laut dan di bawah dasar laut adalah milik Indonesia. 

Kemudian, bila Indonesia mampu membuktikan secara ilmiah lapisan batuan sedimennya menjorok hingga 350 mil dari pantai maka wilayah ini, dikenal sebagai landas kontinen, dan potensi sumber dayanya, terutama mineral dan migas, juga milik Indonesia.

Sudah barang tentu, wilayah laut Indonesia seluas 5,8 juta kilometer ini perlu dijaga, diamankan sekaligus juga dimanfaatkan sumberdayanya, sebesar besarnya, untuk kemakmuran rakyat Indonesia sendiri. 

Apalagi, perairan wilayah ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara yang kaya ikan serta berpotensi sumberdaya minyak dan gasbumi, kerap dimasuki kapal kapal ikan asing, dari Vietnam dan dari Tiongkok, yang notabene kedua negara tadi juga sudah meratifikasi UNLCOS’82. 

Marsetio menegaskan bahwa potensi konflik besar maritim di Dunia bisa muncul di Laut China Selatan.  Kekuatan AL Amerika Serikat (AS), yang selama ini berpengaruh di Samudera Pasifik hingga Laut China Selatan, sekarang mulai diimbangi oleh kekuatan laut Tiongkok.  Belum lagi, saat ini kapal kapal perang negara negara anggota North Atlantic Treaty Organization (NATO), seperti Italia dan Perancis sudah kerap berpatroli hingga laut China Selatan.  Kegiatan armada mereka ini terus dibayang bayangi oleh AL Tongkok bersama Satuan Penjaga Pantai Tiongkok (China Coast Guard). Sedikit saja ada gesekan dan provokasi maka perang bisa tersulut di wilayah laut ini. 

Ditambah lagi, kapal-kapal ikan Tiongkok sudah kerap menerobos masuk hingga wilayah ZEE Indonesia.  Marsetio menegaskan, itulah sebabnya Indonesia harus hadir di Laut Natuna Utara, baik kekuatan pertahanan di laut, kekuatan keamanan laut, menggelar kegiatan riset kelautan di sana, serta sebanyak mungkin nelayan-nelayan kita beroperasi di sana. Jangan kalah jumlah kapal ikan dan nelayan dari jumlah kapal ikan dan nelayan asing. Bila tidak,  kejadian lepasnya Pulau Sipadan – Ligitan, tahun 2002,  bisa terulang. 

Ketika sengketa kepemilikan Pulau Sipadan – Ligitan dibawa Indonesia dan Malaysia ke Mahkamah Internasional (MI) di Den Haag – Belanda, para hakim MI bertanya ”Siapa sebenarnya yang selama ini memelihara, membangun, mengelola dan beraktivitas di Sipadan – Ligitan?”, dijawab:”Malaysia”.  Akhirnya, Pulau Sipadan – Ligitan diputuskan menjadi milik Malaysia.  Ini disebabkan karena Indonesia tidak pernah beraktivitas, tidak pernah mengelola dan menggelar kegiatan disana.

Marsetio, yang kerap menjadi anggota delegasi RI pada sidang sidang International Maritime Organization (IMO), lalu menawarkan kerjasama guna memanfaatkan ZEE Indonesia tadi, baik bersama mitra dalam negeri maupun mitra luar negeri.  

Langkah pertama, Marsetio yang saat ini menjabat penasehat Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi,  menyampaikan bahwa dalam waktu dekat kegiatan riset di Laut Natuna Utara akan digelar, menggunakan kapal survey Pusat Hidro-Oseanografi TNI-AL, mengundang ahli-ahli kelautan Indonesia untuk bergabung, lewat pendanaan riset dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).  Selain untuk menghimpun data kelautan serta memperoleh hasil riset, kehadiran kapal survey TNI-AL disana akan semakin meneguhkan kepemilikan RI atas Laut Natuna Utara.

Untuk kerja sama dengan pihak luar negeri, Marsetia menyodorkan Pasal – pasal di UNCLOS’82 sebagai payung hukum, terutama Pasal 62 yang menegaskan bahwa sumberdaya kelautan, utamanya ikan, yang berada di ZEE adalah milik negara pantai dan bisa dimanfaatkan oleh negara pantai tadi.  Apabila negara pantai tadi belum bisa memanfaatkan sumberdaya laut yang tersedia itu maka dapat bekerjasama dengan negara lain untuk memanfaatkan sumberdaya tadi secara bersama.  Untuk Indonesia, sebagai negara pantai, maka  bekerjasama guna memanfaatkan sumberdaya lautnya, seperti sumberdaya ikan tuna, dengan perjanjian yang setara dan transparan, bisa dilaksanakan.

Melalui berbagai upaya tadi dan didasarkan pada payung hukum UNLCOS’82, maka banyak cara dapat dipakai untuk bekerjasama, dari pada harus berkonflik.  “Yang paling penting tentunya adalah bahwa kita bisa selalu hadir di wilayah laut kita sendiri”, demikian Laksamana (Purn) Prof. Dr. Marsetio menutup paparannya. ***

- Advertisement -spot_img

More Articles