Profesor Rachmat Witoelar mengingatkan semua pihak bahwa ancaman perubahan iklim semakin nyata yang ditandai dengan semakin meningkatnya rata-rata suhu global.
Dia mengajak semua pihak untuk bekerja sama, berkolaborasi melakukan aksi nyata untuk mengatasi persoalan tersebut.
“Suhu rata-rata pada tahun 2022 lebih tinggi 0,91 derajat celsius dibandingkan periode 1951-1980,” kata Rachmat Witoelar, penasehat senior Sekjen PBB bidang pembangunan berkelanjutan, di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim COP28 UNFCCC di Dubai, Uni Emirat Arab, Selasa, 5 Desember 2023.
_________
Rachmat merupakan tokoh penting dunia dalam isu perubahan iklim. Dia pernah menjabat sebagai Presiden COP13 yang berlangsung di Bali tahun 2007, yang menghasilkan dokumen Bali Road Map sebagai pijakan aksi pengendalian perubahan iklim global saat ini.
Rachmat mengingatkan, dampak perubahan iklim dirasakan semua makhluk hidup dibumi, namun yang paling rentan adalah keanekaragaman hayati, flora dan fauna yang tidak mampu beradaptasi terancam punah.
Dia mengingatkan, perubahan iklim terjadi karena emisi gas rumah kaca (GRK) akibat aktivitas manusia. Rachmat mengungkapkan, juara dunia pengemisi GRK adalah negara-negara maju seperti China, Amerika Serikat, Rusia, dan Jepang. Negara-negara tersebut berkontribusi pada sekitar 67% emisi GRK global pada tahun 2023.
Rachmat menyindir Negara-negara emiter terbesar GRK sesungguhnya memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk melakukan aksi nyata pengendalian perubahan iklim.
Dia juga menyayangkan, di tengah ancaman yang makin nyata, masih ada Negara-negara yang bernafsu berperang. Perang mengakibatkan emisi GRK makin meningkat. Perang di Ukraina telah mengakibatkan pelepasan emisi GRK hingga 33 juta ton hanya dalam waktu dua tahun. Sementara perang di Gaza, Palestina telah menyebabkan 60,3 juta ton emisi GRK terlepas hanya dalam waktu 35 hari saja.
Rachmat menekankan semua pihak harus bekerja sama melakukan aksi mitigasi dan adaptasi karena sesungguhnya perubahan iklim adalah masalah global. Dia menyatakan pentingnya negosiasi di forum seperti COP UNFCCC untuk memperkuat aksi nyata yang harus dilakukan.
“Negosiasi adalah elemen penting dalam menghadapi perubahan iklim,” katanya.
Rachmat kembali mengingatkan, Negara-negara maju yang menjadi emiter GRK terbesar memiliki tanggung jawab lebih, diantaranya menyediakan pendanaan iklim sebesar 100 miliar dolar AS, seperti yang mereka janjikan.
Sayangnya, hingga saat ini janji tersebut gagal direalisasikan. “Mereka malah lebih memilih menganggarkan dana untuk berperang,” katanya.
Rachmat menyatakan, Indonesia bisa menjadi contoh bagaimana aksi nyata mitigasi dan adapatasi perubahan iklim dilakukan. Aksi-aksi itu dilakukan secara komprehensif di semua sektor mulai dari kehutanan dan penggunaan lahan (FOLU), energi, sampah, dan aktivitas industri.
“Indonesia menunjukkan leading by examples diantaranya dengan penurunan emisi GRK di sektor FOLU dan gambut,” katanya. ****