Indonesia mendorong implementasi pengelolaan hutan produksi lestari sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan kayu untuk industri sekaligus upaya berkelanjutan dalam rehabilitasi lahan.
Upaya yang lebih kuat juga dilakukan untuk mengembalikan bentang hutan ke kondisi aslinya dengan melalui pendekatan bisnis melalui skema restorasi ekosistem.
Demikian dipaparkan Pelaksana Tugas Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Agus Justianto pada forum dialog Asia-Pasific Forestry Commission (APFC) Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) bertajuk ‘Integrating sustainable wood supply with forest and landscape restoration: opportunities, constraints and ways forward’ di Sydney, Australia, Senin, 2 Oktober 2023.
Agus memaparkan industri pengolahan kayu di Indonesia saat ini mengimplementasikan efisiensi agar bisa bertahan di tengah ketersediaan bahan baku yang terbatas.
“Meski demikian pendekatan yang lebih luas yang mengintegrasikan aspek lingkungan dan sosial menjadi alternatif keberhasilan berkelanjutan di sektor pengolahan hasil hutan,” kata dia.
Agus menegaskan sektor kehutanan memiliki peran penting dilihat dalam dimensi ekonomi, ekologi, dan sosial. Oleh sebab itu pemerintah bersama masyarakat, pelaku usaha, dan pemangku kepentingan lainnya mendorong untuk penerapan rantai pasokan bahan baku yang bersumber dari pengelolaan hutan lestari.
Berdasarkan data KLHK, saat ini jumlah industri kayu di Indonesia sebanyak 543 unit (kapasitas lebih dari 6.000 m3 per tahun), 2.613 unit (kapasitas 2.000-4.000 m3 per tahun) dan 534 unit (kapasitas kurang dari 2.000 m3 per tahun). Saat ini sebesar 87,83% kebutuhan bahan baku kayu industri dipasok dari hutan tanaman (Satu Data PHL).
Industri juga banyak memanfaatkan bahan baku kayu dari pohon spesies cepat tumbuh (Fast Growing Tree Species) yang ditanam di lahan masyarakat seperti sengon, jabon, atau gmelina. Hal itu membuat masyarakat memperoleh insentif sehingga akhirnya semakin bersemangat untuk melakukan penanaman dan rehabilitasi lahan.
Agus juga menegaskan, untuk mendorong rehabilitasi lahan pada konsesi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), pemerintah mewajibkan pemegang izin untuk melakukan penanaman kembali. “Setiap pohon yang dipanen, wajib dilakukan penanaman kembali oleh pemegang izin,” tegas dia.
Selain itu, Agus menuturkan, sejak tahun 2004 KLHK telah menginisiasi upaya untuk mengembalikan bentang hutan produksi ke kondisi aslinya dengan pendekatan bisnis melalui izin Restorasi Ekosistem.
Pemegang izin Restorasi Ekosistem dilarang untuk melakukan pemanfaatan hasil hutan kayu sampai keseimbangan keanekaragaman hayati dan ekosistem tercapai. Menurut Agus, pemegang izin Restorasi Ekosistem bisa memanfaatkan potensi berbagai hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan yang ada melalui model bisnis Multi Usaha Kehutanan.
“Restorasi Ekosistem di hutan produksi bertujuan untuk mengembalikan unsur biotik (flora dan fauna) dan unsur abiotik (tanah, iklim, dan topografi) pada suatu kawasan sehingga tercapai keseimbangan ekosistem melalui penanaman, pengayaan, regenerasi alami, dan atau perlindungan ekosistem,” ujar Agus.
- Restorasi Ekosistem untuk Capai Indonesia’s FOLU Net Sink, Kerja Sama Multi Pihak Diperlukan
- Laporan Terbaru, RER Catat Kemajuan Perbaikan Hutan Rawa Gambut Utuh Terbesar di Sumatera
Selain Agus, sejumlah pemimpin otoritas kehutanan di negara-negara Asia Pasific juga menjadi turut menjadi pembicara pada sesi yang digelar FAO bekerja sama dengan Australian National University itu. Diantaranya adalah dari Bhutan, India, Papua Nugini, Timor Leste, dan Republik Korea.
Park Eunsik, Director General of International Bureau, Korea Forest Service menjelaskan Republik Korea melakukan kegiatan rehabilitasi besar-besaran sejak tahun 1970-an untuk memulihkan kondisi hutan yang rusak. Hasilnya stok tegakan hutan di Korea meningkat dari hanya 10 m3 per hektare pada tahun 1972 menjadi 169 m3 per hektare pada tahun 2022.
Park juga menjelaskan ada tiga strategi yang dijalankan untuk mendorong penggunaan kayu berkelanjutan di Korea. Pertama dari sisi kebijakan, pemerintah memfasilitasi terbentuknya lingkungan yang ramah pemanfaatan produk kayu lestari. Bangunan-bangunan publik dibangun dengan memanfaatkan kayu yang diproduksi secara bertanggung jawab.
Kedua, adalah itu kampanye kesadaran publik akan pentingnya pemanfaatan kayu lestari. Ketiga, pemanfaatan inovasi teknologi diantaranya dalam mendukung legalitas kayu. ***