Meski teknologi sudah tersedia, namun pemanfaatan sistem Pemilu Elektronik atau E-Voting belum akan digunakan pada Pemilu 14 Februari 2024.
Dari sebelas tahapan Pemilu, sistem Pemilu digital elektronik baru diterapkan pada tahapan Pendaftaran Partai Politik, Pendaftaran Pemilih dan Pendaftaran Calon Peserta Pemilu.
Tahapan-tahapan pemilu berikutnya, seperti Pemungutan Suara, Penghitungan Suara, Pengiriman Hasil, Tabulasi dan Penayangan Hasil, ternyata masih akan dilaksanakan secara konvensional.
_________
Memang, ada tahapan yang menggunakan sistem pemilu elektronik, yaitu sistem e-rekapitulasi dengan mengirimkan hasil dari TPS, oleh Kepala PPS sendiri, langsung ke pusat tabulasi data. Namun, itupun hanya dipakai sebagai verifikasi, tidak bisa dipakai sebagai hasil pemilu yang sahih.Â
Demikian beberapa kesimpulan diskusi Center for Technology & Innovation Studies (CTIS) bersama Ikatan Audit Teknologi Indonesia (IATI), Rabu 24 Januari 2024.
Dalam pertemuan yang diawali pengantar oleh Ketua IATI, Prof Hammam Riza, moderator Wakil Ketua IATI, Dr Jarot Suroso dan pembicara Dr Andrari Grahitandaru, Ketua Cluster Teknologi Informatika dan Elektronika (TIE) IATI, berhasil dipaparkan progress penerapan E-voting yang telah dibangun sejak awal dekade 2010-an, namun baru mulai diterapkan pada E-Voting Pemilihan Kepala Desa di beberapa desa, mulai tahun 2013 lalu.
Hal ini bukan disebabkan teknologinya yang belum siap, melainkan aspek regulasinya yang belum mendukung.
Andrari menyatakan bahwa untuk penerapan E-Voting ini, minimal ada 5 komponen yang perlu diperhatikan yaitu komponen legalitas, komponen teknologi, komponen penyelenggara, komponen masyarakat dan komponen pembiayaan.
Komponen legalitas mengacu pada Putuskan Mahkamah Konstitusi No.147/PUU-VII/2009 yang mewajibkan pemilu harus langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Sedang untuk komponen elektronikanya mengacu pada UU No 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang telah beberapa kali diubah, hingga terakhir menjadi UU No.1/Th.2024 Tentang ITE.
Pada penyusunan RUU Pemilu Tahun 2017 lalu, Kementerian Kominfo, ITB, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan PT. Inti mengadakan dengar pendapat bersama DPR RI. Dari Hasil dengar pendapat dan beragam kajian, akhirnya disimpulkan bahwa Indonesia belum siap untuk melaksanakan Pemilu Elektronik atau E-Voting ini. UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu, akhirnya tidak memasukan sistem E-Voting ini. Yang baru bisa dicobakan hanyalah sistem e-rekapitulasi, itupun hanya untuk verifikasi yang tidak bersifat sahih.
Para ahli BPPT telah merancang-bangun sistem E-Voting sejak awal dekade 2010-an. Andrari menegaskan bahwa uji coba pertama dilaksanakan pada Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) tahun 2017, yang mencakup 178 Desa di seluruh Indonesia. Hingga tahun 2022 lalu telah diterapkan E-Voting pada Pilkades di 1.106 Desa di seluruh Indonesia.
Aspek regulasi yang dipakai adalah UU No 6 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Desa. Pada tahun 2024 ditargetkan 3106 Desa akan menggelar Pilkades menggunakan E-Voting dan akan meningkat menjadi 11388 Pilkades pada tahun 2025 yad.
Lalu, apakah E-Voting sudah dapat diterapkan pada Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota? Andrari menegaskan bahwa sesuai UU No 1 tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, maka E-Voting sudah bisa diterapkan.
Lewat E-Voting maka akurasi terjamin, berarti menjamin azas jujur. E-Voting juga menjamin azas langsung dan umum karena Daftar Pemilih Tetap (DPT) diperoleh secara Online. E-Voting juga menjamin azas rahasia, dan sistem verifikasi pemilu elektroniknya menjamin azas jujur dan adil.
Para peserta diskusi CTIS-IATI juga sepakat kiranya sistem E-Voting ini bisa diuji-cobakan secara bertahap guna mendapatkan keyakinan dan penerimaan masyarakat yang semakin meningkat. Hal ini menjadi penting karena melalui Sistem E-Voting ini diharapkan biaya pemilu dapat ditekan hingga maksimal 50% saja. ***