Para ahli energi hidrogen Indonesia terus berkarya guna mengimplementasikan teknologi Fuel Cell dan teknologi pembangkit listrik tenaga hidrogen di tanah air guna ikut menyongsong era energi baru terbarukan (EBT) mendukung “Net Zero Emission” (NZE), pada tahun 2060 sesuai kesepakatan tentang perubahan iklim, Paris Agreement.
Itulah kesimpulan Diskusi Tentang Energi Hidrogen dan Teknologinya, yang digelar Center for Technology & Innovation Studies (CTIS) Rabu, 7 Februari 2024.
Dalam paparannya, Profesor Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Profesor Eniya Listiani Dewi, alumnus Universitas Waseda, Jepang, yang juga Mantan Deputi Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menegaskan bahwa Peta Jalan Nasional (Road Map) penerapan teknologi energi hidrogen telah disusun hingga tahun 2060 dan implementasinya sudah dimulai saat ini menuju ekosistem energi hidrogen yang mapan pada tahun 2040.
_________
Pada diskusi yang dipandu Dr. Unggul Priyanto, Ketua Komite Energi CTIS, yang juga mantan Kepala BPPT, Eniya memprakirakan bahwa penggunaan energi hidrogen di tanah air pada tahun 2022, yang dibuat Indonesia Fuel Cell & Hydrogen Energy (IFHE), mencapai 1,8 juta ton per tahun. Sebagian besar dimanfaatkan oleh industri pupuk.
Menurut Eniya, yang juga menjabat sebagai President IFHE, pada tahun 2060, penggunaan energi hidrogen di tanah air akan mencapai 32,6 juta ton per tahun. Sebesar 80% diantaranya adalah untuk transportasi. Pada saat itu, mobil baterai fuel cell berbahan bakar hidrogen sudah operasional di tanah air sehingga era kendaraan berbahan bakar air semakin terwujud di Indonesia.
Energi hidrogen (H2) terbentuk melalui proses elektrolisa menggunakan aliran listrik untuk memecah molekul air (H2O), menjadi gas Hidrogen (H2) dan Oksigen (O2). Gas H2 ini, yang ditampung di dalam tabung tabung pada tekanan 157 atmosfer, kemudian menjadi sumber energi yang dipakai di banyak industri, seperti pada industri pupuk, industri baja dan industri pengilangan minyak.
Pada masa depan, penggunaan energi hidrogen terbesar ada pada sektor transportasi, utamanya sebagai bahan bakar mobil, truk dan kapal laut. Untuk mencapai ini maka setiap kendaraan tadi dilengkapi baterai fuel cell dan tabung gas H2.
Melalui proses elektrolisis maka gas H2 dari tabung dialirkan ke baterai fuel cell guna menghasilkan daya listrik untuk menggerakkan mobil, sedang limbahnya akan terbuang keluar sebagai air (H2O). Ini berarti mobil hidrogen tidak mengemisikan karbon dan sangat ramah lingkungan.
Pada tahun 2009, BPPT telah membuat prototipe sepeda motor berbahan bakar hidrogen dengan daya 1 KiloWatt. Pada tahun 2019 berhasil pula dibuat mobil golf menggunakan energi hibrid, gabungan energi dari foto foltaik energi sinar matahari dan energi hidrogen dari batterai fuel cell dengan daya hingga 2.5 Killowatt.
Penguasaan teknologi energi hidrogen dan fuel cell oleh ahli ahli Indonesia ini telah menarik minat industri industri otomotif internasional untuk bekerja sama.
Ekosistem energi hidrogen juga telah disusun dalam Strategi Hidrogen Nasional yang mencakup Peta Jalan Hidrogen dan Amonia, Rantai Pasok Hidrogen Hijau, Standar Industri Energi Hidrogen dan Peraturan Perdagangan Energi Hidrogen.
Sedang PLN telah mulai membangun infrastruktur untuk energi hidrogen ini, antara lain membangun 21 Green Hydrogen Plants di Jawa, Bali dan Sumatera guna memasok kebutuhan gas H2 di tanah air. Sasaran utamanya tentu penggunaan bahan bakar hidrogen untuk kendaraan bermotor.
Oleh sebab itu dalam waktu dekat segera dibangun Stasiun pengisian bahan bakar hidrogen di 12 tempat di Jawa Barat dan yang pertama akan beroperasi adalah stasiun pengisian bahan bakar hidrogen di Senayan, Jakarta Pusat.
Ini berarti bahwa Indonesia sudah siap memasuki era kendaraan bermotor berbahan bakar hidrogen. Menurut Dirut Indonesia Power, Edwin Nugraha Putra, tingkat keekonomian energi hidrogen dibanding dengan energi lain adalah sekitar Rp1650 per kilometer untuk Bahan Bakar Bensin (BBM), Rp370 per kilometer untuk mobil listrik dan Rp350 perkilometer dengan energi hidrogen. ***