Sebanyak 17 perusahaan pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) Hutan Alam (HA) dan Hutan Tanaman (HT) yang ada di Sulawesi berpotensi mendapat manfaat dari perdagangan karbon sektor kehutanan.
Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Drasospolino, terdapat 17 Unit PBPH-HA dan HT di wilayah Regional Sulawesi.
PBPH-HA dan HT yang telah memiliki Sertifikat Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) Baik sebanyak 2 Unit dan Sertifikat PHL Sedang sebanyak 3 Unit dan 12 Unit belum memiliki sertifikat PHL.
Drasospolinno menyatakan adanya perdagangan karbon sektor kehutanan diharapkan memberikan semangat baru bagi PBPH untuk mengimplementasikan Pengelolaan Hutan Lestari berbasis Multi Usaha Kehutanan, sehingga akan memberikan dampak dalam penyerapan/ penyimpanan karbon serta Nilai Ekonomi Karbon Sektor Kehutanan.
Drasospolino saat Sosialisasi Peraturan Menteri (Permen) LHK Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan, di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu, 11 Oktober 2023 menjelaskan Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca demi pengendalian perubahan iklim.
Untuk mendukung komitmen tersebut dan mencapai target NDC, telah terbit Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon.
“Mengingat komitmen Indonesia terhadap target NDC dan pencapaian ambisius untuk net carbon sink pada tahun 2030 sebagaimana dalam Rencana Operasional Indonesia’s FOLU Net Sink 2030, maka diperlukan dukungan dan komitmen seluruh pihak, baik pemerintah, sektor swasta, masyarakat, NGO, dan seluruh aktor sektor kehutanan untuk mendukung pengendalian perubahan iklim nasional dan global,” tegas Sekretaris Ditjen PHL, Drasospolino.
Pendekatan yang dapat digunakan untuk mendukung pengendalian perubahan iklim yaitu melalui implementasi kebijakan Nilai Ekonomi Karbon (NEK), dimana didalamnya adalah termasuk mekanisme penurunan emisi dengan skema perdagangan karbon.
Perdagangan karbon memiliki dua mekanisme utama: perdagangan emisi dan offset emisi. Dalam mekanisme Perdagangan Emisi atau yang biasa disebut juga sebagai sistem cap and trade, Para pelaku usaha wajib mengurangi emisi GRK dengan ditetapkannya Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU) atau emission cap.
Setiap pelaku usaha (misal: Sub-sub Sektor Pengelolaan Gambut dan Mangrove), dimana bagi pelaku usaha yang memiliki areal gambut yang telah rusak akan diberikan alokasi sejumlah emisi GRK sesuai batas atas emisi yang dapat dilepaskan/dikeluarkan (cap).
Pada akhir periode, Pelaku Usaha tersebut harus melaporkan jumlah emisi GRK Aktual yang telah mereka lepaskan. Pelaku Usaha yang melepaskan emisi GRK yang lebih besar dari batas atas yang telah ditentukan baginya (defisit) maka harus membeli surplus emisi GRK dari Pelaku Usaha lain.
Untuk mekanisme Offset emisi (offset karbon), yang diperjualbelikan adalah unit karbon yang dihasilkan dari penurunan emisi atau peningkatan penyerapan dan/atau penyimpanan karbon setelah target NDC untuk sub-sub sektor telah tercapai dan terdapat surplus penurunan emisi.
Penurunan emisi GRK ini diperoleh melalui pelaksanaan kegiatan/aksi mitigasi pengendalian perubahan iklim.
Oleh karena itu biasanya pada awal aksi mitigasi yang dilakukan oleh Pelaku Usaha, harus bisa dibuktikan terkait praktik atau teknologi yang digunakan (common practice), meliputi penerapan praktik/teknologi/kegiatan penyerapan dan/atau penyimpanan karbon yang dilakukan sebelum adanya aksi mitigasi untuk mengetahui emisi baseline aktual untuk kemudian pada akhir periode, diukur/divalidasi/diverifikasi pencapaian dari hasil aksi mitigasinya.
Penurunan emisi dari penyerapan dan/atau penyimpanan karbon ini kemudian sesuai dengan peraturan perundangan diterbitkan Karbon Kredit berupa Sertifikasi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK) untuk kemudian dapat diperdagangankan oleh Pelaku usaha untuk dijual atas surplus penurunan (offset) emisinya kepada Pelaku Usaha lain, sehingga pembeli bisa mengklaim telah mengurangi tingkat emisi GRK-nya. ***