Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno menyampaikan kekhawatiran atas implementasi Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR) yang dinilai akan membebani petani kecil di Indonesia.
Dalam forum multi-pemangku kepentingan yang berlangsung di Jakarta pada Kamis (3/7/2025), Havas menegaskan bahwa EUDR secara langsung berisiko menghambat akses ekspor komoditas seperti kakao, karet, kopi, dan kelapa sawit dari petani skala kecil ke pasar Eropa.
“Petani kecil akan kesulitan memenuhi persyaratan transparansi dan keterlacakan produk, seperti penggunaan sistem digital dan geolokasi yang diwajibkan EUDR,” ujar Havas.
EUDR mewajibkan seluruh produk yang masuk ke pasar Uni Eropa harus berasal dari lahan yang tidak mengalami deforestasi sejak 31 Desember 2020.
Sementara, perusahaan harus membuktikan asal-usul bahan baku dan memastikan tidak ada unsur pembabatan hutan dalam rantai pasokannya.
Yang menjadi sorotan adalah munculnya proposal baru yang memberikan status “negligible risk” bagi petani di kawasan Uni Eropa—artinya mereka tidak perlu memenuhi ketentuan ketat seperti negara-negara non-Eropa.
“Inilah yang kami anggap tidak adil dan diskriminatif. Perlakuan berbeda seperti ini jelas merugikan petani kecil di negara-negara produsen,” ujar Havas.
Indonesia bersama koalisi 18 negara penghasil komoditas kehutanan dan pertanian tengah mendorong Uni Eropa untuk memberikan penjelasan hukum secara tertulis mengenai metode klasifikasi risiko mereka.
Indonesia juga mempertanyakan kesesuaian ketentuan EUDR dengan aturan World Trade Organization (WTO) dan pengakuan terhadap sistem legalitas nasional masing-masing negara.
Menurut Havas, jika pengecualian diskriminatif tetap diberlakukan, maka opsi gugatan ke WTO sangat terbuka.
Isu ini juga bergulir di tengah sengketa dagang yang belum usai antara Indonesia dan Uni Eropa. Baru-baru ini, Pengadilan Umum Uni Eropa menguatkan tarif antidumping terhadap ekspor asam lemak berbasis sawit dari Indonesia, meskipun industri Eropa sendiri telah menarik permohonannya.
Selain itu, tarif subsidi balasan terhadap biodiesel Indonesia masih berlaku, dan tengah dalam proses peninjauan WTO.
“Situasi ini menciptakan ketidakpastian serius bagi industri sawit kita. Tidak hanya dari sisi tarif, tetapi juga dari regulasi lingkungan yang diterapkan secara sepihak,” tambah Havas.
Dalam pertemuan bilateral Uni Eropa–Indonesia yang digelar awal Juni lalu di Brussels, pemerintah Indonesia telah menyampaikan secara resmi keberatan atas kebijakan ini, dan kini tengah menunggu respon tertulis dari pihak Uni Eropa.
Pemerintah Indonesia menyatakan tetap membuka ruang untuk menyelesaikan persoalan ini melalui jalur diplomatik maupun hukum internasional. ***