Transisi energi dari bahan bakar fosil ke energi baru dan terbarukan menjadi keniscayaan dalam aksi pengendalian perubahan iklim dan masa depan bumi yang lebih hijau. Meski demikian, transisi energi butuh komitmen dan dukungan banyak pihak karena pelaksanaannya tidak semudah membalik telapak tangan.
Demikian terungkap pada diskusi panel bertajuk “Investing A Green Tomorrow Through Energy Transition” di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim COP29 UNFCCC di Baku, Azerbaijan, Rabu, 13 November 2024.
Anggota Dewan Energi Nasional Periode 20202-2024 Satya Widya Yudha mengungkapkan tiga tantangan besar transisi energi di Indonesia. “Pertama besarnya investasi yang dibutuhkan, lalu aset pembangkit yang beroperasi saat ini, dan terkait teknologi dan inovasi,” katanya.
Satya lebih lanjut tentang menjelaskan tentang skenario transisi energi di Indonesia. Berdasarkan skenario yang ada sebelumnya, porsi energi fosil memang masih ada. Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,2 persen per tahun sampai 2060, maka porsi bauran energi baru dan terbarukan (EBT) mencapai 60 persen dan fosil tinggal 40 persen.
Sementara itu pada skenario pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,9 persen per tahun hingga 2060, maka porsi bauran EBT sebesar 61 persen dan fosil 39 persen.
“Pemerintah sekarang mencanangkan target pertumbuhan ekonomi 8%, tentu perlu diperhitungan berapa porsi bauran EBT-nya,” katanya.
Satya berharap transisi energi di Indonesia bisa semakin mulus seiring rencana revisi Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional tuntas.
Sementara itu Chief Sustainable Officer APP Group Elim Sritaba menjelaskan tentang komitmen APP Group dalam pengendalian perubahan iklim. Sebagai bagian dari strategi dekarbonisasi, APP menerapkan praktik reforestasi dan pengelolaan lahan yang bertanggung jawab untuk mendukung daya serap karbon alami dan keberlanjutan sumber daya alam.
“Melalui hutan tanaman industri yang dikelola secara berkelanjutan, kami tidak hanya menambah daya serap karbon, tetapi juga mendukung kesejahteraan komunitas sekitar,” ungkap Elim.
Sementara terkait transisi energi, Elim menjelaskan bahwa APP telah mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil melalui penggunaan bioenergi dan panel surya. Di antaranya di fasilitas pabrik Indah Kiat dan Tjiwi Kimia, serta OKI yang 98% energinya berasal dari sumber terbarukan.
“Sejak tahun dasar 2018, intensitas karbon kami telah berkurang sebesar 11%. Ini adalah komitmen kami untuk masa depan yang lebih hijau,” lanjut Elim.
Elim mengakui, salah satu tantangan dalam transisi menuju energi bersih adalah investasi besar, termasuk penerapan teknologi rendah karbon. “Mekanisme pembiayaan yang kuat sangat penting untuk memastikan transisi yang adil, terutama bagi masyarakat yang tinggal di sekitar konsesi kami,” kata Elim.
Dia menambahkan APP mendukung kemitraan publik-swasta guna menciptakan akses pembiayaan yang inklusif.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Lingkungan Dharsono Hartono mengatakan, pihaknya memiliki Kadin Net Zero Hub sebagai platform untuk membantu perusahaan-perusahaan melakukan dekarbonisasi. “Terutama bagi perusahaan yang berstatus UMKM serta padat karya,” katanya.
Menurut dia, UMKM dan industri padat yang menjadi bagian dari rantai pasok global perlu mendapat pendampingan dalam aksi dekarbonisasi. Jika tidak mereka akan terlempar karena konsumen global saat ini menuntut produk yang lebih ramah lingkungan. Hal itu tentu saja akan berdampak kepada para pekerja.
Clea Kaske-Kuck, Director for Policy, Advocacy and Member Mobilization World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) menyebut Indonesia memimpin pelaksanaan transisi energi terutama terkait pemanfaatan biodiesel dan Sustainable Aviation Fuel (SAF).
Menurut Clea, investasi untuk transisi energi akan datang jika ada kebijakan yang kuat dari pemerintah. Termasuk didalamnya adalah kemudahan perizinan dan infrastruktur pendukungnya. ***