Pelaku usaha hulu-hilir bertekad untuk bahu-membahu untuk merevitalisasi dan mendongkrak kinerja industri kayu di tanah air. Integrasi antara pelaku industri akan diperkuat memperkuat rantai pasok kayu dari hulu hingga ke hilir yang akan menghasilkan produk ekspor berkualitas tinggi. Di sisi lain, pemanfaatan kayu rimba campuran juga dipromosikan sehingga bisa meningkatkan permintaan pasar.
Tekad para pelaku industri kayu tersebut mengemuka saat Temu Usaha yang diselenggarakan Direktorat Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan KLHK, di Surabaya, 27-28 Juni 2024.
Pertemuan dihadiri asosiasi dan pelaku usaha dari penyedia atau pemasok bahan baku sektor hulu yaitu Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan perusahaan pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), juga dihadiri asosiasi industri pengolahan bahan baku hasil hutan seperti APKINDO, ISWA, HIMKI, ASMINDO, dan beberapa perusahaan Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan (PBPHH).
Direktur Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan KLHK, Krisdianto menyatakan melalui temu usaha hulu dan hilir ini diharapkan dapat diketahui permasalahan terkini yang dihadapi baik oleh PBPH maupun PBPHH.
“Pertemuan ini selain untuk dapat mengetahui permasalahan yang ada saat ini, kondisi pasar, dan pengembangan usaha, juga diharapkan dapat dicari solusi khususnya untuk dapat meningkatkan kinerja produksi industri pengolahan hasil hutan,” ujar Krisdianto.
Krisdianto menegaskan bahwa Indonesia pernah mengalami masa kejayaan industri kehutanan pada tahun 1990-an. Kondisi saat ini cukup kompleks dan mengharuskan dilakukannya revitalisasi industri kehutanan melalui kolaborasi, sinergi dan integrasi hulu-hilir sektor usaha kehutanan.
“Revitalisasi industri kehutanan memerlukan dukungan kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang kondusif, didukung informasi bahan baku dan pasar lengkap dari asosiasi serta dukungan pendanaan dalam upaya PBPHH meningkatkan kapasitas menuju PBPH maju dan modern,” ujar Krisdianto.
Mekanisme kerja sama PBPH dan PBPHH perlu lebih ditingkatkan dalam rangka menjamin pasokan sumber bahan baku bagi PBPHH dan menjamin pasar kayu bulat bagi PBPH.
“Melalui integrasi hulu hilir ini, ke depan tidak ada lagi PBPH yang kesulitan memasarkan kayu bulat, dan sebaliknya jangan ada lagi industri primer PBPHH yang mati akibat kekurangan bahan baku kayu bulat,” kata dia.
Pada kesempatan tersebut Dewan Pengurus APHI Tjipta Purwita menjelaskan bahwa produksi kayu hutan alam tahun 2023 lalu sebesar 4,7 juta m3 sementara dalam 10 tahun terakhir rata-ratanya sebesar 5,7 juta m3.
Banyak permasalahan yang mengakibatkan produksi kayu hutan alam cenderung stuck bahkan menurun. Faktor utamanya karena jarak angkutan semakin jauh, ditambah lagi harga BBM terus meningkat, sedangkan harga kayu tetap dan trend permintaan kayu dari hutan alam terus menurun.
“Kondisi ini mengakibatkan pengusahaan hutan alam mengalami kerugian akibat harga kayu di bawah biaya produksinya saat ini” ujar Tjipta.
Menurut dia, konfigurasi industri hutan alam yang kurang efisien, dengan rendemen yang rendah dan nilai tambah yang kecil perlu dukungan teknologi baru. “Dukungan teknologi ini bukan hanya soal permesinan saja, melainkan segala upaya untuk dapat menaikkan rendemen,” ungkap Tjipta.
Dia mengusulkan untuk meningkatkan nilai tambah, perlu diupayakan jalan keluar dengan perluasan pasar ekspor, khususnya untuk kayu-kayu rimba campuran yang selama ini masih belum dimanfaatkan secara optimal.
“Promosi dan pemasaran produk kayu Indonesia di pasar luar negeri perlu lebih digencarkan melalui kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh KBRI, disamping itu juga perlu dilakukan penguatan pasar ekspor melalui market intelligent”, ungkap dia.
Selain itu, upaya lain melalui peningkatan penyerapan kayu domestik misalnya untuk pembangunan di IKN perlu terus didorong, disamping implementasi melalui e-katalog. “Perlu adanya penyederhanaan proses dokumen lingkungan untuk percepatan multi usaha kehutanan (baik ijin baru maupun eksisting), dan pembangunan industri dalam areal PBPH,” kata Tjipta.
Ketua Umum Indonesian Sawmill and Wood Working Association (ISWA) Wiradari Soeprayogo menyoroti soal pembatasan luas penampang ekspor produk kayu yang telah menghambat pemasaran produk kayu dari Indonesia.
“Kiranya perlu adanya peninjauan kembali pembatasan luas penampang kayu ini, khususnya untuk kayu-kayu baik dari hutan tanaman maupun hutan alam yang sudah bersertifikat untuk menangkap nilai optimal kayu,” ujar Wira.
Secara khusus Wiradadi masih maraknya pungutan di sektor kehutanan yang mengakibatkan biaya produksi terus meningkat. “Perlu upaya untuk menghapus pungutan-pungutan liar, menindak oknum pelaku sesuai hukum yang berlaku dan juga menghapuskan PPh pasal 22 dan pajak pertambahan nilai (PPN) impor atas impor bahan baku kayu bulat, kayu gergajian dan juga veneer”, kata Wiradadi. ***