Indonesia memiliki modal yang kuat berupa pengelolaan hutan lestari untuk mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (Forestry and Other Land Use/FOLU).
Ketua Harian II Tim Kerja Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Agus Justianto mengatakan Indonesia mencanangkan target FOLU Net Sink pada tahun 2030 yang berarti penyerapan karbon dari sektor FOLU akan lebih besar dibanding emisinya pada tahun 2030.
“Tingkat emisi GRK yang ingin dicapai pada tahun 2030 adalah minus 140 juta ton setara CO2,” kata Agus pada Technical Workshop Indonesia-Uni Emirate Arab on Forestry, Nature, and Climate di Jakarta, Senin, 10 Juni 2024.
Turut dalam Delegasi UAE perwakilan dari The Mohamed Bin Zayed Species Conservation Fund. Selain menghadiri workshop, delegasi UAE juga mengunjungi Persemaian Permanen Rumpin, Bogor.
Agus menegaskan, kebijakan pengelolaan lestari adalah modal yang kuat bagi Indonesia untuk mencapai target FOLU Net Sink. Menurut Agus, aksi korektif dalam pengelolaan hutan telah dilakukan dalam 10 tahun terakhir yang berdampak pada menurunnya laju deforestasi Indonesia secara signifikan.
Pada tahun 2021-2022, deforestasi netto Indonesia
adalah seluas 104 ribu ha yang berarti terjadi penurunan 8,4% jika dibandingkan deforestasi tahun 2020-2021.
Sebagai gambaran, laju deforestasi tertinggi terjadi pada periode tahun 1996 sampai 2000, seluas 3,5 juta ha per tahun, periode 2002 sampai 2014 seluas 0,75 juta ha per tahun, dan mencapai titik terendah pada tahun 2021-2022.
Agus menjelaskan upaya mengimplementasikan pengelolaan hutan lestari diantaranya dengan memperkuat Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sebagai unit pengelola hutan di tingkat tapak. Kebijakan perhutanan sosial yang telah mengalokasikan kawasan hutan seluas 12,7 juta hektare untuk dikelola oleh masyarakat juga mendukung pengelolaan hutan lestari.
“Perhutanan sosial fokus pada kawasan hutan yang rentan deforestasi dimana penghidupan masyarakatnya sangat bergantung pada hutan. Salah satu bentuk perhutanan sosial adalah rehabilitasi hutan dengan teknik agroforestri,” katanya.
Agus juga menyebut peran penting Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dalam pencapaian target FOLU Net Sink. PBPH diarahkan untuk mengimplementasikan Model Bisnis Multi Usaha Kehutanan (MUK) sehingga bisa melakukan diversifikasi usaha dan tidak hanya fokus pada penebangan kayu, tetapi juga dapat mengembangkan berbagai usaha lain seperti hutan tanaman energi, ekowisata, agroforestri, dan pemanfaatan produk non-kayu, dan perdagangan karbon serta jasa lingkungan.
Agus melanjutkan, FOLU Net Sink juga akan dicapai melalui rehabilitasi dan restorasi Daerah Aliran Sungai (DAS), gambut, dan mangrove, serta konservasi kenakeragaman hayati. Selain itu penegakan hukum ditegakkan untuk mencegah kerugian lingkungan hidup dan kehutanan.
Agus mengungkapkan berdasarkan perhitungan kebutuhan investasi untuk implementasi operasional FOLU Net Sink mencapai 14,57 miliar dolar AS. Selain bersumber dari APBN, investasi juga diharapkan datang dari sektor swasta dan dukungan internasional. ***