Senin, 2 Desember 2024

Pengurangan Emisi Metana untuk Aksi Iklim, Perlu Dilakukan Kolaboratif

Latest

- Advertisement -spot_img

Indonesia berkomitmen untuk melakukan aksi pengurangan emisi metana (CH4) yang merupakan gas rumah kaca (GRK) paling berdampak besar terhadap perubahan iklim. Kontribusi emisi metana teridentifikasi ada pada sektor pengolahan sampah dan pertanian.

“Dampak emisi metana pada perubahan iklim sangat sangat lebih besar dibandingkan karbondioksida,” kata Direktur Mitigasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Yulia Suryanti saat diskusi panel bertajuk “Winning Race With Collaboration in Methane Abatement” di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim COP29 UNFCCC di Baku, Azerbaijan, Kamis, 14 November 2024.

Yulia memaparkan, berdasarkan inventarisasi GRK tahun 2022 yang dilakukan KLHK, sektor energi menjadi kontributor terbesar dengan 59% diikuti dengan kehutanan dan penggunaan lahan (18%), sampah (11%), pertanian (7%) dan proses industri (5%)

Sebesar 97% emisi GRK yang dilepas sektor energi adalah karbondioksida. Sementara emisi metana hanya sebesar 2%, dan 1% lainnya adalah nitrogen oksida (N2O).

Menurut Yulia, sektor yang berkontribusi pada pelepasan metana adalah sampah dan pertanian. “Sebesar 57% emisi sektor pertanian adalah metana. Sementara pada sektor sampah, sebesar 95% emisi adalah metana,” katanya.

Yulia mengingatkan, adanya UAE Consensus yang ditetapkan pada COP28 di Uni Emirat Arab tahun 2023 untuk mengakselerasi pengurangan emisi GRK selain karbondioksida. Termasuk yang harus dikurangi adalah emisi metana.

Menurut Yulia, pada sektor energi, pengurangan emisi metana harus dilakukan pada kegiatan penambangan batubara dan migas.   Semnetara pada sektor pertanian, pengurangan emthana dapat dilakukan dengan memanfaatkan pupuk organik dan pemanfaatan biogas.Pada sektor sampah, pengurangan metana dapat dilakukan dengan praktik pengomposan dan 3R.

“Pengurangan emisi metana sangat mendesak. Kita bisa melakukannya dengan berkolaborasi,” kata Yulia.

Sementara itu Direktur Strategi, Portofolio, dan Pengembangan Usaha PT Pertamina, A. Salyadi Dariah Saputra mengatakan, sebagai perusahaan migas, Pertamina berkomitmen kuat untuk mengurangi emisi methane. “Pertamina menargetkan untuk mengurangi emisi metana sebesar 40% pada tahun 2030 berdasarkan baseline tahun 2021,” katanya.

Pada tahun 2021, emisi metana Pertamina tercatat 2,16 juta ton setara karbon dioksida (CO2e), atau sekitar 8% dari total emisi GRK Pertamina.

Emisi metana tersebut berasal dari kegiatan pembakaran hidrokarbon untuk alasan teknis (flaring and venting) dan emisi fugitive.

Salah satu upaya yang dilakukan Pertamina untuk pengurangan emisi metana adalah mengembangkan metode Leak Detection and Repair (LDAR) untuk mendeteksi cepat kebocoran dan memperbaikinya.

Metode ini sudah diuji coba di kilang minyak Terminal Lawe-lawe, Kalimantan Timur. hasilnya emisi metana yang sebelumnya mencapai 340,3 ton per tahun berhasil dikurangi menjadi 15,9 ton per tahun.

Menurut Salyadi, Pertamina menjalin kolaborasi untuk pengurangan emisi metana antara lain dengan Bank Dunia, JOGMEC, dan ASEAN Council on Petroleum (ASCOPE). *

- Advertisement -spot_img

More Articles