Selasa, 3 Desember 2024

Pengendalian Perubahan Iklim, Indonesia Masukkan Mangrove dan Padang Lamun dalam Second NDC

Latest

- Advertisement -spot_img

Indonesia akan memasukkan mangrove dan padang lamun dalam dokumen penurunan emisi gas rumah kaca pada dokumen Second Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia. Dokumen tersebut rencananya akan diserahkan ke Sekretariat UNFCCC pada Februari tahun 2025.

Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan Hendra Yusran Siry mengatakan Blue Carbon berperan penting bagi kehidupan manusia. “Selain fungsi keanekaragaman hayati dan penyerapan karbon, ekosistem pesisir seperti mangrove dan padang lamun menjadi sumber penghidupan masyarakat,” katanya saat menyampaikan pidato kunci pada diskusi panel bertajuk “NDC 3.0: Early Mover for Ocean-based Climate Actions” di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim COP29 UNFCCC di Baku, Azerbaijan, Jumat, 15 November 2024.

Hendra mengungkapkan, sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki potensi Blue Carbon yang sangat besar. Diperkirakan, ekosistem mangrove dan padang lamun Indonesia menyimpan 17% dari cadangan blue carbon dunia.

Hendra melanjutkan, Indonesia akan sektor kelautan dalam Second NDC Indonesia. Hal ini sesuai dengan mandat yang diputuskan pada COP27 yaitu Decision 1/CMA.4 yang dikenal sebagai Sharm el-Sheikh Implementation Plan.

“Di sektor kelautan, kami memperkirakan kontribusi karbon biru padang lamun untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Selama proses kami mengidentifikasi beberapa kesenjangan yang perlu diatasi,” jelasnya.

Hendra juga mengatakan bahwa sektor kelautan sudah dimasukkan dalam implementasi Artikel 6.8 Perjanjian Paris yang mendorong pendekatan non-pasar untuk negara-negara berkolaborasi mengatasi perubahan iklim melalui inisiatif seperti mitigasi, adaptasi dan transfer teknologi.

Sementara itu Direktur Mitigasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup Yulia Yulia Suryanti mengatakan Indonesia menyadari pentingnya sektor kelautan dalam penanganan perubahan iklim mengingat potensi karbon biru yang ada di dalamnya.

“Sangat penting untuk mengidentifikasi dampak negatif perubahan iklim terhadap laut dan ekosistem pesisir dan membatasi dampaknya melalui pengurangan emisi, adaptasi, terus melakukan riset dan manajemen kelautan yang efektif,” ujar Yulia.

Dia menegaskan, langkah adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di sektor kelautan dan ekosistem pesisir diperlukan mengingat keduanya memiliki peran penting sebagai sumber kehidupan bagi komunitas sekitarnya.

Lebih lanjut Yulia mengatakan, Indonesia juga menyadari peran kelautan dalam regulasi mekanisme nilai ekonomi karbon seperti yang tertuang dalam Perpres 98 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.

“Yang memperlihatkan bahwa sektor kelautan adalah salah satu sektor potensial dalam elemen mitigasi, tidak hanya adaptasi yang sudah disebutkan dalam NDC pertama kami pada 2016,” Yulia Suryati.

Direktur Jenderal Perubahan Iklim, Kementerian Pertanian, Perubahan Iklim, dan Lingkungan Republik Seychelles Justin Prosper yang turut menjadi narasumber pada diskusi itu memuji langkah Indonesia yang sudah memasukkan sektor kelautan dalam Second NDC. 

Menurut dia, sebagai negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya adalah laut, Seychelles juga berencana akan mengikuti langkah tersebut. ***

- Advertisement -spot_img

More Articles