Pasar Karbon di Indonesia akan diluncurkan pada September 2023 mendatang. Kegiatan ini akan berdampak pada multi-pihak baik sektor pemerintah, non-pemerintah maupun pengusaha swasta.
Untuk itu, pembelajaran publik tentang perdagangan karbon dan pasar karbon perlu lebih digencarkan kepada masyarakat agar ada kesamaan persepsi dan cara pandang. Tujuannya agar dapat disepakati pasar karbon dengan satu harga optimum yang bisa mencakup multi-sektor di Indonesia dalam rangka mengimplementasikan Perjanjian Paris.
Demikian rangkuman pertemuan Komite Energi Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), yang dipimpin Dr. Unggul Priyanto, Rabu, 27 Juli 2023.
Pertemuan itu menghadirkan Dr. Edo Mahendra, Staf Khusus Menko Kemaritiman & Investasi Bidang Carbon Trading dan Dr. Eka Ginting, praktisi perdagangan karbon.
Sesuai Perjanjian Paris Tentang Perubahan Iklim 2015, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon dari praktik business as usual. Dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (Enhanced NDC), Indonesia menargetkan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89% dengan upaya sendiri atau mencapai 43,20% dengan dukungan internasional.
Komitment ini sudah disampaikan ke Badan PBB Tentang Perubahan Iklim (UNFCCC).
Lima Sektor yang disasar untuk bisa menurunkan emisi karbon semaksimal mungkin adalah sektor energi, kehutanan, industri, pertanian dan limbah.
Semua kegiatan penurunan emisi tadi dapat menghasilkan kredit karbon yang dipakai untuk pencapaian target NDC tadi, dan juga bisa untuk diperjual-belikan, baik didalam negeri maupun di pasar Internasional.
Di sektor energi, upaya dilakukan lewat aksi transisi energi, dari energi yang berbasis fosil menjadi energi baru dan terbarukan (EBT), dari batubara dan migas menjadi energi surya, angin, ombak, panas bumi, biomasa, hidro dan nuklir sehingga diperoleh kredit karbon.
Sedang di sektor kehutanan, dilaksanakan upaya upaya aksi mitigasi untuk mendapatkan kerdit karbon, antara lain melalui pengelolaan lahan gambut, penurunan laju deforestasi, pengendalian hutan konsesi, pembangunan hutan tanaman, pengelolaan hutan lestari dan rehabilitasi hutan dengan rotasi dan non rotasi.
Ini juga bisa memperoleh kredit karbon untuk memenuhi target NDC dan bisa diperdagangkan secara domestik dan internasional.
Menyongsong dimulainya perdagangan karbon pada September 2023 mendatang, Edo Mahendra menyampaikan hal hal yang perlu diperhatikan, seperti ketersediaan Peta Jalan (Road Map) dan Lini Masa (timeline) perdagangan karbon guna menjamin investasi yang akan dibenamkan di sana.
Ia juga mengharapkan kiranya pasar karbon mandatory (emission trading system – ETS) bisa digarap di berbagai sektor, yang saat ini baru berjalan di sektor energi saja.
Diharapkan, pasar karbon mandatary juga segera dapat dilaksanakan di sektor kehutanan, serta di sektor sektor lain sehingga:”One policy, one price, one market, multiple sectors” pada kebijakan perdagangan karbon bisa diterapkan di Indonesia.
Sudah pasti, untuk mencapai ini, beberapa kebijakan harus diambil, antara lain, dengan memperkuat Sistem Registry Nasional (SRN) agar volume karbon yang diperdagangkan semakin transparan. Juga, penerapan pasar karbon sukarela yang disesuaikan dengan Pasal 6 Perjanjian Paris, tidaklah harus dihindari, namun perlu diatur.
Terkait hal ini Eka Ginting mengharapkan kiranya regulasi yang sedang disusun ramah terhadap pasar karbon global dengan tetap mengedepankan kepentingan Nasional.
Hal ini disebabkan besarnya kebutuhan pasar karbon, baik domestik, regional maupun internasional. Juga mengingat besarnya investasi yang akan dibenamkan untuk beragam kegiatan aksi mitigasi, hingga pada akhirnya tersedia alokasi kredit karbon yang bisa diperdagangkan.
- Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan, Peluang Bagi PBPH
- Inhutani I Bersiap Implementasikan Nilai Ekonomi Karbon, Samakan Persepsi dengan Para Pihak
Edo Mahendra, menutup dengan memperlihatkan daftar negara yang telah terlebih dahulu memulai perdagangan karbonnya, yaitu Jerman, Saudi Arabia, Abu Dhabi, Brasil, Tiongkok, Hongkong, Malaysia dan Singapura.
Indonesia tengah ditunggu Dunia untuk memulai perdagangan karbonnya, mengingat ketersediaan potensi kredit karbon yang berlimpah di Nusantara ini. ***