Kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), atau tenaga matahari, di Indonesia saat ini baru mencapai 450 MegaWatt (MW). Ini berarti kapasitas saat ini masih sangat jauh dari target PLTS pada tahun 2025 yang sekitar 6.500 MW.
Kapasitas PLTS di Indonesia juga masih sangat kecil jika dibandingkan dengan pemanfaatan PLTS di Dunia, yang sudah mencapai 509.000 MW.
Untuk itu perlu diambil kebijakan terkoordinasi lintas pemangku kepentingan agar potensi PLTS di negara tropis yang kaya sinar matahari ini dapat diterapkan hingga semaksimal mungkin, termasuk dukungan industrinya.
Kebijakan yang perlu diambil mencakup penetapan target Nasional yang rasional, terarah, didukung regulasi yang konsisten sehingga investasi di bidang energi surya di tanah air menjadi layak.
Demikian terungkap pada Diskusi Center for Technology & Innovation Studies (CTIS) Tentang Sistem PLTS: Potensi, Teknologi, Pemanfaatan dan Tantangannya di Indonesia, Rabu 20 Maret 2024.
Menjadi pembicara kunci pada diskusi tersebut Dr Andhika Prastawa, Perekayasa Ahli Utama BRIN, yang juga Alumnus ITB dan Universitas Indonesia. Diskusi dipandu oleh Ketua Komite Energi CTIS, Dr Unggul Priyanto, yang juga Mantan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Andhika membuka diskusi dengan menegaskan bahwa Indonesia harus terus meninggalkan ketergantungan pada energi fosil dan menerapkan energi baru dan terbarukan.
Agenda Pemerintah untuk Transisi Energi menuju Net Zero Emission 2060, mengedepankan Energi Surya sebagai prioritas. Indonesia memiliki potensi energi surya sebesar 4,8 KWh/m2. Potensi ini setara 112.000 GigaWatt, atau 112 Juta MW. Namun demikian, penggunaan PLTS di tanah air masih kecil, baru sekitar 450 MW saja. “Ini yang perlu dibedah agar solusi implementasi PLTS di tanah air bisa meningkat,” kata Andhika.
Bila mengacu pada Peta Jalan Transisi Energi dan Strategi Menuju Net Zero Emission 2060 Sektor Energi, terlihat bahwa pada tahun 2060 kapasitas pembangkit listrik Indonesia akan mencapai 708 GigaWatt (GW), atau 708.000 MW, dimana 421 GW diantaranya akan dipasok dari PLTS.
Mengingat kondisi geografis Nusantara, yang merupakan Negara Kepulauan, maka perlu dibangun sistem super grid guna meratakan sebaran energi listrik ke seluruh Nusantara dengan memanfaatkan potensi energi baru dan terbarukan di tiap-tiap wilayah.
Untuk PLTS misalnya, wilayah Pulau Sumba di NTT yang kaya sinar matahari sepanjang tahun, diprakirakan mampu memasok 140 GW listrik dengan memanfaatkan 145 ribu hektar lahan untuk memasang panel-panel surya. Listrik yang dibangkitkan dari PLTS di Sumba tadi dapat dialirkan keseluruh Indonesia melalui jaringan Super Grid.
Tahap pertama yang harus diambil agar investasi membangun PLTS menjadi layak adalah regulasi yang mendukung. Andhika melihat bahwa regulasi tentang PLTS ini tampak masih belum terintegrasi, yang bisa menguntungkan semua pihak.
Sebagai contoh, untuk regulasi pemanfaatan listrik surya atap saja, sejak tahun 2018 hingga 2024 sudah ada tiga peraturan menteri yang berubah-ubah terus. Belum lagi peraturan Menteri Keuangan yang tadinya mendorong pemberian insentif pada pembangunan PLTS, namun akhirnya peraturan tadi dicabut kembali karena ternyata insentif tadi dinilai menguntungkan investasi perusahaan besar saja, bukan untuk pengusaha kecil dan menengah.
Padahal, pembangunan PLTS memerlukan regulasi yang jelas dengan jangka waktu yang cukup lama agar investasi yang dibenamkan bisa menguntungkan secara ekonomis.
Di lain pihak, kemajuan teknologi membuat tenaga listrik yang dihasilkan dari PLTS semakin lama semakin murah, rata rata Dunia sekitar 4,9 Sen Dollar per KWh. Bahkan di Saudi Arabia, harga listrik PLTS hanya 1 Sen Dollar per-KWh.
Harga listrik yang dihasilkan akan semakin murah apabila PLTS yang dibangun berkapasitas besar dan ini berarti diperlukan lahan yang lebih luas. PLTS 100 MW bisa menghasilkan listrik seharga 6 Sen Dollar per-KWh, sedang PLTS 300 MW bisa menghasilkan listrik seharga 2-3 Sen Dollar saja.
Di Indonesia, sesuai Perpres 112/2022, untuk 10 tahun pertama, harga tertinggi PLTS di atas 20 MW adalah 6,9 Sen Dollar per-KWh dan akan turun menjadi 4,7 Sen Dollar untuk tahun-tahun berikutnya. Ini sekali lagi, perlu regulasi yang jelas dan berjangka panjang agar investasi bisa layak. Apalagi, pihak investor harus menyediakan lahan terlebih dahulu bila akan mendapatkan ijin berinvestasi dibidang PLTS.
Perkembangan positif untuk pengembangan PLTS di Indonesia adalah adanya terobosan dalam penyediaan lahan untuk PLTS, seperti pada PLTS di Cirata, Jawa Barat yang mulai beroperasi pada November 2023 lalu. PLTS yang dapat membangkitkan 192 MW listrik ini dibangun secara terapung di Danau Waduk Cirata dan merupakan PLTS terbesar di Asia Tenggara. Dengan cara demikian maka permasalahan penyediaan lahan bisa terpecahkan. Tentunya, ini bisa direplikasi di danau-danau dan waduk waduk lain diseluruh Indonesia.
Ada lima tahapan hulu-hilir dalam pembangunan industri PLTS dan biasanya pembangunan industrinya dimulai dari hilir, yaitu kemampuan membangun PLTS. Indonesia mulai menerapkan PLTS pada tahun 1978, saat BPPT membangun Desa Surya di Sukabumi, Jawa Barat.
Setelah kemampuan membangun PLTS dikuasai maka masuk ke tahapan industri lebih hulu, yaitu industri pembuatan modul surya dan panel surya. Inipun telah dikuasai ahli ahli Indonesia dan pabrik pembuat panel surya telah bermunculan di tanah air.
Tahapan industri yang lebih ke hulu, seperti industri pembuatan sel surya silikon kristalin, industri pembuatan ingot kristal silikon dan wafer silikon dan Industri pemurnian silikon ternyata masih belum dikuasai Indonesia.
Padahal pasir kwarsa (SIO2) sebagai bahan baku silikon sangat berlimpah di Bumi Nusantara ini. Itulah sebabnya, peserta diskusi sepakat bahwa pembangunan PLTS di Indonesia perlu lebih terintegrasi dan memanfaatkan semaksimal mungkin potensi di dalam negeri mengingat negeri di katulistiwa ini kaya sinar matahari sepanjang tahun dan juga ketersediaan pasir kwarsa, sebagai bahan baku silikon, yang berlimpah.
Tentu upaya ini juga akan mejadi perhatian Dirjen Energi Baru & Terbarukan Kementerian ESDM yang baru dilantik, Professor Eniya Lystia Dewi, yang juga anggota CTIS. ***