Kolaborasi seluruh pemangku kepentingan yang terus menguat beberapa tahun belakangan memicu optimisme terciptanya solusi permanen bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Terbukti tiga tahun belakangan, luas karhutla terus menunjukkan penurunan. Hal ini juga menambah keyakinan akan tercapainya komitmen Indonesia’s FOLU Net Sink 2030.
Berdasarkan data Sistem Informasi Pengendalian Karhutla (Sipongi) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Luas karhutla pada tahun 2019 sempat mencapai 1,6 juta hektare.
Luasnya kemudian berkurang drastis di tahun berikutnya. Tahun 2020 karhutla seluas 296 ribu hektare dan di tahun 2021 seluas 358 ribu hektare
Sementara untuk tahun 2022 sampai Juni, karhutla terjadi di areal seluas 46.844 hektare dan diharapkan tidak akan mencapai luas 100 ribu hektare.
Kepala Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Karhutla Wilayah Sumatera KLHK Ferdian Krisnanto mengatakan ada 3 strategi yang dikembangkan untuk mencapai solusi permanen karhutla.
Pertama analisis cuaca dan iklim. Begitu tingkat kekeringan mengkhawatirkan, langsung dilakukan intervensi modifikasi cuaca.
Kemudian, operasional, diantaranya dilakukan dengan memperkuat Satgas terpadu, penegakan hukum, dan pemberdayaan Masyarakat Peduli Api.
“Yang terakhir adalah pengelolaan dalam landscape,” katanya saat Webinar “Mencari Solusi Permanen pencegahan Karhutla di Jambi” yang diikuti secara daring, Kamis 23 Juni 2022.
Dia mengatakan pengendalian karhutla dan perubahan iklim secara luas tidak bisa dilakukan oleh pemerintah semata, namun butuh dukungan seluruh lapisan masyarakat, dunia usaha, bahkan dunia internasional.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Indroyono Soesilo mengatakan, kita semua patut bersyukur bahwa atas kolaborasi para pihak, dalam beberapa tahun ini tren terjadinya karhutla terus menurun, dan memberikan konntribusi yang cukup signifkan dalam penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia.
“Upaya yang telah berjalan terus harus tetap kita pertahankan dan dijaga kesinambungannya,” kata dia dalam sambutan tertulisnya.
Indryono menekankan APHI dan perusahaan pemegang Perizinan Berusahaan Pemanfaatan Hutan (PBPH) sangat mendukung upaya pengendalian karhutla di berbagai daerah termasuk di Jambi.
Hal itu dilakukan melalui diantaraya melalui berbagai penyiapan lahan tanpa bakar di lahan PBPH maupun di lahan masyarakat, perbaikan tata kelola lahan gambut, program pemberdayaan masyarakat, penyiapan sarana pra sarana pencegahan karhutla dan mendukung operasional Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC).
Sekjen APHI Purwadi Soeprihanto menambahkan pengendalian karhutla akan mencegah lepasnya emisi GRK. “Sehingga mendukung tercapainya komitmen Indonesia’s FOLU Net Sink 2030,” katanya.
Indonesia’s FOLU Net Sink adalah kondisi dimana GRK yang terserap di sektor kehutanan dan penggunaan lahan (Forestry and Other Land Use/FOLU) lebih tinggi dibandingkan tingkat emisinya di tahun 2030.
Purwadi mengatakan penting untuk terus menjalin kerja sama multi pihak karena karhutla di Indonesia bersifat multi dimensi dan kompleks
“Dukungan dan kerja sama para pihak, mulai dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah, TNI- POLRI, masyarakat, akademisi, korporasi, dan CSO perlu terus diperkuat,” katanya.
Kasilog Korem 042/Garuda Putih Jambi, Kolonel Kav Soleh mengatakan TNI siap mendukung upaya pengendalian karhutla sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo.
Dia mengatakan pentingnya untuk memastikan setiap lahan ada penanggung jawab lahan sehingga bisa segera bergerak jika muncul titik api.
Ketua Jurusan Kehutanan Universitas Jambi Dr Bambang Irawan mengatakan ada 3 faktor penyebab karhutla yaitu ekonomi, pengetahuan dan kesadaran.
Bambang mengatakan agar tercipta solusi permanen maka ketiga faktor tersebut harus dibenahi.
Dari faktor ekonomi, dia mengatakan perlu disediakan solusi bagi masyarakat sehingga tetap bisa membuka lahan tanpa perlu membakar.
“Misalnya dengan menyediakan alat berat, subsidi atau bantuan lainnya,” katanya.
Dia juga menyarankan untuk semakin menekan kejadian karhutla, maka fokus pembangunan di arahkan pada lokasi-lokasi yang rawan karhutla.
Sementara itu Dosen Hukum Lingkungan Universitas Jambi Dr Helmi mengatakan dari sisi hukum perlu penegakan hukum yang kuat agar kejadian karhutla tidak berulang.
“Tindakan hukum represif yang tegakkan harus bisa berdampak preventif. Artinya pelaku karhutla atau orang lain akhirnya jera dan tidak mau melakukan hal yang sama,” katanya. ***