Partisipasi global diperlukan untuk mengatasi kesenjangan pendanaan dalam pengendalian perubahan iklim, terutama di negara-negara berkembang.
Utusan Khusus Presiden Bidang Perdagangan Internasional dan Kerja Sama Multilateral Mari Elka Pangestu mengungkapkan, butuh sekitar 1-2 triliun dolar AS untuk pendanaan aksi iklim di dunia.
Jumlahnya semakin besar mencapai 6 triliun dolar AS jika memperhitungkan kebutuhan untuk aksi SDGs. Menurut Mari, realisasi pendanaan untuk aksi iklim berdasarkan Paris Agreement hanya sebesar 100 miliar dolar AS, dan baru dipenuhi pada tahun 2022.
“Jadi benar-benar ada kesenjangan pembiayaan yang besar,” kata dia dalam sesi diskusi bertajuk Fostering and Enabling Innovative Climate Finance Mechanism di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim COP29 UNFCCC di Baku, Azerbaijan, Selasa, 12 November 2024.
Turut menjadi pembicara pada diskusi tersebut John Denton (Secretary General International Chamber of Commerce), Andreew Steer (CEO Bezos Earth Fund), Sinthya Roesly (Direktur Keuangan PLN) dan Jo Tyndall (Director of Environment for Organization for Co-operation and Development/OECD).
Mari mengatakan, kesenjangan pendanaan untuk aksi iklim juga terjadi di Indonesia. Menurut dia, hingga 2030 diperkirakan Indonesia butuh 280 miliar dolar. “Hanya 30% saja yang dapat berasal dari APBN. Sisanya harus berasal dari sektor swasta, serta sumber-sumber lain,” ujar Mari Elka.
Untuk mengatasi kesenjangan pendanaan aksi iklim, lingkungan dan SDGs, Indonesia menginisiasi gerakan G20 Global Blended Finance Alliance (GBFA). Ini menjadi gerakan yang akan menghimpun pendanaan campuran dari berbagai pihak untuk ekonomi berkelanjutan.
Menurut Mari GBFA bakal memfasilitasi berbagai ide tentang keuangan campuran dan pengembangan kebijakannya. Gerakan ini akan menjadi organisasi global yang berupaya mendorong kemitraan, mencari solusi kelembagaan, serta keuangan untuk menciptakan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable finance) serta menanggulangi masalah perubahan iklim.
Sejauh ini sudah ada 9 negara yang dipaparkan Mari telah meneken letter of intent (LOI) untuk membentuk GBFA. Mulai dari Fiji, Prancis, Sri Lanka, Republik Demokratik Kongo, Kenya, Luksemburg, Kanada, Uni Emirat Arab dan Indonesia.
Namun, baru Indonesia dan Kenya yang sudah berjalan ke langkah berikutnya yaitu meneken article of agreement (AOA).
“Kami berharap dua negara lagi menandatangani (AOA) dalam gelaran COP 29 yaitu Fiji dan UEA,” katanya.
Direktur Keuangan PLN Sinthya Roesly mengatakan PLN menargetkan pengembangan pembangkit berbasis energi terbarukan sebesar 75 persen. Untuk mencapai target tersebut, dibutuhkan pendanaan yang diperkirakan mencapai lebih dari 100 miliar dolar AS hingga 2033.
Sinthya mengatakan PLN akan terus mengeksplorasi berbagai opsi pendanaan, baik melalui kerja sama dengan pemberi pinjaman internasional maupun sumber daya lokal untuk memastikan transisi energi berjalan sesuai rencana.
Beberapa partner institusi keuangan yang memberikan dukungan untuk transisi energi PLN di antaranya World Bank, Asian Development Bank (ADB) hingga Just Energy Transition Partnership (JETP).
“Dalam dua tahun terakhir, kami telah mendapatkan sekitar 2,9 miliar dolar AS, dan saat ini kami sedang berdiskusi dengan ADB untuk pembiayaan sekitar 4,8 miliar dolar AS. Kami juga tengah berbicara dengan beberapa investor lain dan total potensi pendanaan yang sudah kami miliki saat ini sebesar 46,9 miliar dolar AS,” kata Sinthya
Sementara itu CEO Bezos Earth Fund Andreew Steer mengatakan, sesungguhnya pendanaan untuk aksi iklim tersedia. Yang jadi soal adalah penyaluran pendanaan itu kerap kali tidak tepat sasaran. “Kita perlu menyelesaikan puzzle sehingga pendanaan dapat mengalir ke tempat yang tepat. ***