Indonesia membagikan pengetahuan dan pengalaman dalam membangun manajemen pengendalian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) kepada FAO-UNEP yang saat ini sedang merancang Global Fire Management Platform, sebuah perangkat untuk mendukung manajemen pengendalian karhutla di tingkat global.
Amy Duchelle, Senior Forestry Officer and Team Leader of Forests and Climate Change FAO menjelaskan pihaknya bekerja sama dengan UNEP dan sejumlah lembaga lain sedang membangun Global Fire Management Platform. Inisiasi ini sudah diluncurkan saat XV World Forestry Congress yang berlangsung di Republik Korea, Mei 2022.
“Tujuan dari dibangunnya platform ini adalah untuk memperkuat kapasitas setiap negara dalam mengimplementasikan manajemen pengendalian karhutla terintegrasi,” kata Duchelle saat sesi panel bertajuk Working together to manage fires for climate and people di 8th World Forest Week yang digelar bersamaan dengan the 26th Session of the Committee on Forestry (COFO26) FAO di Roma Italia, Rabu 5 Oktober 2022.
Catatan FAO, pada tahun 2021 lalu terjadi rekor suhu udara di bumi yang menyebabkan karhutla yang berdampak pada kerusakan habitat juga pemukiman.
Kejadian karhutla semakin berdampak parah akibat sambaran petir, kekeringan, dan angin kencang. Hal ini setiap tahunnya berakibat pada kematian sekitar 33 ribu orang dan 100 ribu orang lainnya menghadapi gangguan kesehatan.
FAO memprediksi kejadian karhutla akan meningkat hingga 14% di tahun 2030. Hal ini harus diantisipasi karena karhutla juga bisa memicu bencana lain terkait iklim seperti banjir, badai, dan tanah longsor.
Saat ini upaya mengendalikan karhutla masih berfokus pada pemadaman yang memakan biaya hingga 50% dari anggaran. Padahal, jika fokus dialihkan pada pencegahan, biaya yang dibutuhkan hanya sekitar 1% saja.
FAO menilai pengendalian bukan berarti akan menyetop kejadian karhutla. Apalagi di beberapa komunitas masyarakat adat penggunaan api untuk membuka lahan lazim digunakan dan juga berdampak baik untuk ekosistem setempat.
Untuk itu, kata Duchelle, pihaknya akan menggandeng masyarakat adat untuk mempelajari kearifan lokal dalam pengendalian karhutla. Selain itu, FAO juga mengandeng berbagai pihak untuk saling berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam membangun manajemen pengendalian karhutla.
Tenaga Ahli Menteri LHK Bidang Manajemen Landscape Fire Raffles B Panjaitan yang menjadi salah satu pembicara pada sesi panel tersebut menjelaskan langkah-langkah Indonesia dalam membangun manajemen pengendalian karhutla.
Dia menjelaskan, sebelum tahun 2015 Indonesia lebih banyak melakukan upaya pemadaman menghadapi kejadian karhutla. “Setelah tahun 2015, Presiden Jokowi mengubah paradigma pengendalian karhutla dari pemadaman ke pencegahan,” katanya.
Raffles menjelaskan upaya pencegahan dilakukan membangun early warning system memanfaatkan teknologi satelit. Kemudian dilakukan pemadaman dini sebelum api membesar di lokasi jika terdeteksi ada kejadian karhutla.
Upaya pencegahan kemudian diperkuat dengan pembasahan lahan gambut maupun mineral. Salah satunya dengan memanfaatkan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) sebelum kekeringan terjadi. Upaya ini juga mendapat dukungan dari dari berbagai stakeholder pengelola hutan dan lahan.
“Dilakukan pendekatan landscape untuk pengendalian karhutla dimana masyarakat di lokasi rawan karhutla dilibatkan,” katanya.
Hasilnya dalam tiga tahun belakangan, luas karhutla di Indonesia terus menunjukkan penurunan. Berdasarkan data Sistem Informasi Pengendalian Karhutla (Sipongi) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Luas karhutla pada tahun 2019 sempat mencapai 1,6 juta hektare.
Luasnya kemudian berkurang drastis di tahun berikutnya. Tahun 2020 karhutla seluas 296 ribu hektare dan di tahun 2021 seluas 358 ribu hektare.
Sementara untuk tahun 2022 sampai Juni, karhutla terjadi di areal seluas 46.844 hektare dan diharapkan tidak akan mencapai luas 100 ribu hektare.
Selain Raffles, pembicara yang juga hadir pada sesi tersebut adalah Peter More (FAO Consultan Fire Management Specialist), Lara Steil (Forestry Officer-Fire Management FAO), Francesco Gaetani (Science-Policy Regional Coordinator UNEP Latin America an the Caribbean Office), Jina Kim (Director International Cooperation Division Korea Forest Service), Ugur Karakoc (Forest Engineer Ministry of Agriculture and Forestry of Turki), Jesus San Miguel Ayanz (Joint Research Center of the European Commission), Martin Monaco (Ministry of Environment and Sustainability of Argentina), Lucy Amissah (Senior Research Scientist Forestry Research Institute Ghana), Carlos Lopes (Maxacali Indigenous Leader and President National Confederation of Family Farmers and Rural Family Entrepreneurs (CONAFER) Brazil) dan Petteri Vuorinen (Senior Forest and Landuse Specialist Green Climate Fund).
Sekjen Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto yang juga hadir pada sesi tersebut mengatakan, APHI dan perusahaan pemegang Perizinan Berusahaan Pemanfaatan Hutan (PBPH) sangat mendukung upaya pengendalian karhutla di berbagai daerah.
Hal itu dilakukan dengan menyiapkan berbagai sistem tanpa bakar di lahan PBPH maupun di lahan masyarakat, perbaikan tata kelola lahan gambut, program pemberdayaan masyarakat, penyiapan sarana dan pra sarana pencegahan karhutla serta mendukung program operasional TMC. ***