Executive Vice President PT PLN, Dr Herry Nugraha, menekankan urgensi pengembangan bisnis kayu energi di Indonesia dalam rangka mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca sesuai NDC tahun 2030 dan NZE 2060.
Salah satu langkah strategis yang dia usulkan adalah praktik co-firing biomassa pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
“Tidak hanya bertujuan untuk mengurangi emisi karbon, langkah tersebut juga untuk menciptakan peluang lapangan kerja serta memperkuat ekonomi sirkular hijau,” ucap Heery yang juga dosen Institut Teknologi PLN tersebut dikutip dari laman IPB, Selasa, 28 Mei 2024.
Dalam kuliah umum yang ditujukan bagi mahasiswa program S3 Pascasarjana yang mengambil mata kuliah Manajemen Bisnis Kehutanan pada Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan (Fahutan) IPB University itu Herry menjelaskan pengembangan bisnis kayu energi diharapkan dapat memberikan dampak positif tidak hanya dalam mengurangi emisi sektor energi, tetapi juga dalam sektor lain seperti FOLU dan pengelolaan limbah pertanian, dengan melibatkan pelaku lokal seperti usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Herry menjelaskan, strategi implementasi mencakup peningkatan produksi dan penggunaan biomassa pada PLTU dengan mengurangi penggunaan batubara secara bertahap, serta mengatur pembelian biomassa sesuai dengan harga maksimum yang ditetapkan.
“Kolaborasi dengan pemerintah daerah dan masyarakat, seperti proyek General Electric Vernova (GEV) di Gunung Kidul, menjadi contoh nyata bagaimana ekosistem biomassa dapat dikembangkan untuk mendukung transisi energi,” jelasnya.
Melalui program pengelolaan limbah yang diusulkan, penggunaan biomassa dari limbah pertanian dan perkebunan di PLTU diharapkan dapat mengurangi emisi secara signifikan. Dengan demikian, pengembangan bisnis kayu energi di Indonesia melalui co-firing biomassa pada PLTU menawarkan potensi besar dalam mengurangi emisi, menciptakan lapangan kerja, dan mendukung transisi menuju energi bersih secara menyeluruh.
Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Drasospolino itu menjelaskan kebijakan multiusaha kehutanan yang menandai pergeseran paradigma dalam pengelolaan sumber daya alam. Menurutnya, sejarah pengelolaan hutan mencerminkan perjalanan dari eksploitasi sumber daya menuju penekanan pada keberlanjutan dan nilai tambah ekonomi, sosial, dan lingkungan.
“Era pasca reformasi membawa pengakuan terhadap pentingnya melibatkan masyarakat lokal dan desentralisasi kekuasaan dalam pengelolaan hutan. Saat ini, multiusaha kehutanan tidak hanya tentang diversifikasi usaha, tetapi juga integrasi teknologi informasi, kemitraan, dan praktik keberlanjutan,” ungkapnya.
________
Untuk mencapai hal itu, jelasnya, terdapat tantangan yang perlu diatasi. Mulai dari mencapai keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan, mengelola konflik penggunaan lahan, hingga keterbatasan infrastruktur dan aksesibilitas.
Karena itu, dibutuhkan kolaborasi lintas sektor dan tingkat pemerintahan serta investasi dalam regulasi, pemberdayaan masyarakat, promosi diversifikasi usaha, dan pengembangan infrastruktur. “Dengan langkah-langkah ini, diharapkan pengembangan multiusaha kehutanan akan lebih berkelanjutan dan memberikan manfaat ekonomi yang lebih merata,” tuturnya. ***