Indonesia berkomitmen untuk terus mendorong penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) yang berdampak pada pengurangan emisi gas rumah kaca sehingga bisa berkontribusi pada upaya pencegahan bencana perubahan iklim.
Transisi energi terbarukan berbasis produk kehutanan menjadi salah satu opsi yang potensial untuk terus berkembang karena Indonesia memiliki sumber daya hutan yang luas.
“Penggunaan energi terbarukan harus bisa mengakselerasi pembangunan rendah karbon dan mengamankan suplai energi di dalam negeri,” kata Dirjen Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dadan Kusdiana saat sesi panel bertajuk Climate Resilience and energy Transition: Fostering Colaborative Action” di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim COP27 UNFCCC di Sharm El Sheikh, Mesir, Rabu 9 November 2022.
Dadan menegaskan pemerintah bertekad untuk memenuhi target bauran EBT 23 persen pada tahun 2025 dan mencapai Net Zero Emissions sektor energi tahun 2060.
“Sumber EBT tersebut bisa berasal dari tenaga surya, angin, hidro, nuklir atau biomassa,” kata Dadan.
Dia menekankan, pencapaian target tersebut butuh aksi kolaboratif yang melibatkan semua pihak termasuk dukungan dari sektor swasta.
Sementara itu Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Indroyono Soesilo menyambut positif transisi energi yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi cofiring biomassa untuk pembangkitan listrik di PLTU.
Cofiring adalah peralihan sebagian bahan bakar batubara dengan biomassa yang ramah lingkungan, tidak boros karbon dan terbarukan.
Cofiring program akan dilaksanakan di 52 lokasi yang terdiri atas 114 PLTU yang menghasilkan 18.000 MW listrik.
“Ini berarti ada kebutuhan bahan baku biomassa sekitar 4,1 juta ton per tahun,” kata Indroyono.
Dia mengungkapkan, Indonesia memiliki sejumlah spesies tanaman penghasil kayu energi yang bisa dimanfatkan untuk mendukung cofiring karena memiliki nilai kalor yang tak kalah dengan batubara. Diantaranya adalah akasia, gamal, dan kaliandra.
Indroyono menuturkan pengembangan energi biomassa bisa dilakukan dengan pembangunan hutan tanaman energi.
Kayu yang dipanen diubah menjadi produk kayu serpih untuk bisa langsung di manfaatkan untuk cofiring PLTU atau bisa diubah dulu menjadi wood pellet yang bisa dipasarkan untuk kebutuhan ekspor.
“Pemanfaatan biomassa kayu sangat berkelanjutan karena dimulai dari menanam, kemudian dipanen, lalu kembali ditanam, begitu seterusnya,” katanya.
Deputy Director of Sustainability and Stakeholder Engagement APRIL Group Dian Novarina mengungkapkan sebagai produsen produk bubur kayu dan kertas terintegrasi APRIL Group berkomitmen untuk mendukung pemerintah mencegah perubahan iklim dengan mengurangi emisi gas rumah kaca.
Di hulu, komitmen itu dilaksanakan dengan melakukan konservasi kawasan, perlindungan keanekaragaman hayati, dan menerapkan kebijakan zero tolerance pada deforestasi.
Di hilir, APRIL Group beralih pada penggunaan bahan bakar yang terbarukan serta berinvestasi pada teknologi sirkular.
“Kami menargetkan untuk mengurangi emisi hingga 50 persen di tahun 2030 dan mencapai Net Zero pada tahun 2050,” kata Dian.
Dian melanjutkan, sebagai salah satu industri produk alam terbesar di dunia, APRIL Group punya visi keberlanjutan APRIL 2030. Salah satunya adalah menargetkan penggunaan 90% energi terbarukan untuk kebutuhan pabrik.
Sebagai sumber energi April Group memanfaatkan biomassa kayu dan black liquor, cairan yang dihasilkan dari lignin kayu dan bisa diguna ulang sebagai bahan bakar. APRIL Group juga sedang melakukan investasi pembangkit listrik tenaga surya yang akan memiliki kapasitas hingga 20 MW.
Sementara itu President Director Indika Nature Leonardus Herwindo menjelaskan saat ini pihaknya sedang mengembangkan hutan tanaman untuk sebagai bahan baku biomassa industri wood pellet.
Indika Nature memiliki anak usaha yang mengelola konsesi seluas 170 ribu hektare dimaa 15.000 hektare diantara ditanami kaliandra. “Panen perdana diperkirakan akan dilakukan akhir tahun 2023,” katanya. ***