Kebijakan menghentikan izin baru di hutan primer dan gambut terbukti berkontribusi menurunkan deforestasi dan degradasi hutan.
Kebijakan yang diikuti dengan perbaikan tata kelola dan melibatkan semua pihak menjadi upaya Indonesia untuk mencapai penyerapan yang lebih tinggi dibanding emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor hutan dan penggunaan lahan (Net Sink FoLU).
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong menyatakan salah satu bukti keberhasilan kebijakan penghentian izin baru di hutan alam primer dan gambut adalah turunnya laju deforestasi secara drastis.
“Indonesia sukses menurunkan laju deforestasi sebesar 75% dibanding tahun sebelumnya menjadi 115 ribu hektare pada periode 2019-2020,” kata Alue.
Kebijakan penghentian izin baru di hutan primer dan gambut dimulai pada tahun 2011. Saat itu kebijakan penghentian pemberian izin baru bersifat sementara atau moratorium.
Presiden Joko Widodo kemudian merilis Instruksi Presiden No 5 tahun 2019 terkait penghentian izin baru di hutan primer dan gambut ditetapkan secara permanen. Sedangkan areal yang menjadi bagian dari kebijakan itu ditetapkan sebagai Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB).
“Kebijakan pemerintah semakin intensif untuk menghentikan deforestasi dan degradasi hutan, menegaskan komitmen Indonesia untuk memperbaiki tata kelola dan mengurangi emisi GRK dari deforestasi dan degradasi,” kata Alue.
Indonesia telah menargetkan untuk mengurangi emisi GRK sebanyak 41% pada tahun 2030 dari bussines as usual dengan dukungan Internasional. Saat itu, Indonesia juga berkomitmen untuk mencapai Net Sink FoLU.
Alue menegaskan, Net Sink FoLU 2030 berarti Indonesia berkomitmen untuk menekan deforestasi ke tingkat yang paling minimal agar emisi GRK lebih rendah dibanding yang bisa diserap dari sektor hutan dan lahan.
Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ruandha Agung Sugardiman mengungkapkan, terhitung mulai Agustus 2021, luas PIPPIB mencapai 66,1 juta hektare.
Rinciannya 51,2 juta hektare merupakan kawasan hutan konservasi, 5,3 juta hektare lahan gambut, dan 9,6 juta hektare hutan alam primer baik di kawasan hutan produksi maupun areal penggunaan lain.
Direktur Bina Perencanan tata Ruang Daerah Wilayah I Kementerian ATR/BPN, Reny Windyawati menyatakan PIPPIB menjadi salah satu acuan dalam proses perencanaan tata ruang.
“Jika ada areal yang harus dilindungi, maka dalam dokumen Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) areal tersebut diarahkan untuk dilindungi.
Wakil Ketua Komisi IV DPR Budisatrio Djiwandono mengapresiasi capaian KLHK yang berhasil menurunkan laju deforestasi dan degradasi ke titik terendah dalam sejarah.
“Kami di DPR akan mendukung KLHK untuk mempertahankan prestasi tersebut,” katanya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Indroyono Soesilo menyatakan pelaku usaha mendukung kebijakan pemerintah Indonesia untuk menekan laju deforestasi dan degradasi dan memperbaiki tata kelola kehutanan.
“Kebijakan ini juga harus didiukung dengan upaya untuk mencegah pembalakan liar, perambahan dan kebakaran hutan dan lahan,” kata Indroyono.
Dia menyatakan, untuk mendukung kebijakan pemerintah, anggota APHI melakukan kegiatan seperti pengkayaan hutan, silvikultur intensif, dan penerapan pembalakan rendah dampak.
Selain itu, anggota APHI juga melakukan perbaikan tata kelola air dan restorasi gambut.
Diah Suradiredja dari KEHATI menyatakan agar implementasi PIPPIB semakin efektif maka koordinasi di daerah harus terus ditingkatkan.
“Keterlibatan para pihak juga harus ditingkatkan, termasuk organisasi masyarakat sipil, agar perbaikan tata kelola yang ditujukan dalam PIPPIB bisa tercapai,” katanya.
Sophie Kemkhadze, Deputy Resident Representative UNDP Indonesia menyatakan capaian Indonesia dalam menekan deforestasi dan degradasi sebagai sesuatu yang impresif. “Kawasan yang masuk dalam PIPPIB seluas Perancis dan hampir dua kali Jerman,” kata Sophie. ***