Indonesia menyerukan pasar memberi pengakuan yang lebih pantas pada sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK), yang menjadi bagian dari skema kerja sama Forest Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT).
Pasalnya SVLK melampaui soal pasokan produk kayu legal tapi juga soal upaya pengendalian pembalakan liar, perbaikan tata kelola hutan di tingkat tapak, dan pencegahan perubahan iklim.
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong menyatakan mulai tahun 2021 Indonesia memperkuat SVLK dengan penekanan pada kelestarian produk kayu.
“Ini berarti produk kayu bersertifikat SVLK harus diproduksi dengan manajemen hutan yang berkomitmen penuh pada kelestarian,” katanya pada sesi diskusi panel di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim COP26 UNFCCC di Glasgow, Skotlandia, Kamis 4 November 2021.
SVLK mulai dibangun pada tahun 2001 dengan melibatkan multi pihak, pemerintah, pelaku bisnis, akademisi, LSM, dan masyarakat.
SVLK lalu diberlakukan secara penuh pada tahun 2016. Pada tahun 2019 SVLK disetarakan sebagai lisensi FLEGT untuk pasar Uni Eropa. Hingga saat ini, SVLK menjadi satu-satunya skema sertifikasi kayu yang mendapat penyetaraan tersebut.
Pengalaman Indonesia mengimplementasikan SVLK menjadi inspirasi bagi Negara lain, Menteri Ekonomi Kehutanan Kongo Rosalie Matondo menyatakan pihaknya terus mengembangkan sistem sertifikasi di bawah FLEGT. “Apa yang dicapai SVLK Indonesia bisa menjadi pelajaran bagi kami,” katanya.
Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Agus Justianto menyatakan sejak ada SVLK kasus pembalakan liar di Indonesia semakin berkurang
Secara langsung SVLK juga ikut membuat laju deforestasi Indonesia menurun drastis hingga 75% dalam satu dekade terakhir, menjadi tinggal 115 ribu hektare per tahun pada tahun 2019/2020. “Terendah sepanjang sejarah,” katanya.
Agus menekankan, dengan proses dan capaian SVLK, pasar seharusnya memberi pengakuan yang lebih pada produk kayu Indonesia. Bukan hanya pasar Uni Eropa dan Inggris tapi juga global.
“Pasar Eropa dan juga dunia seharusnya memberi pengakuan yang produk dengan SVLK,” kata Agus.
Duta Besar Indonesia untuk Uni Eropa, Andri Hadi menyatakan hingga kini hingga kini Indonesia masih berada di bawah China dan Amerika Serikat sebagai pemasok utama produk kayu ke Uni Eropa dan Inggris. Padahal, China dan Amerika Serikat tidak memiliki perjanjian kemitraan (VPA) seperti halnya Uni Eropa dengan Indonesia.
“Artikel 13 pada VPA FLEGT yang mengatur tentang insentif pasar belum diimplementasikan oleh sejumlah Negara anggota Uni Eropa,” kata Andri.
Deputi Dirjen Lingkungan Komisi Uni Eropa Patrick Child menyatakan dengan pengakuan SVLK sebagai lisensi FLEGT maka produk kayu Indonesia bisa lebih mudah untuk masuk ke pasar Uni Eropa.
Menurut Patrick Child produk furnitur dan kertas berbasia kayu Indonesia termasuk yang menikmati kemudahan tersebut. “Namun dampaknya memang perlu dioptimalkan,” kata dia.
Patrick Child menyatakan pihaknya berjanji Uni Eropa akan terus bekerja sama denegan Indonesia demi keuntungan kedua belah pihak terkait FLEGT. Termasuk soal penerapan uji tuntas pada produk kayu yang tidak dilengkapi dengan lisensi FLEGT.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) yang juga Ketua Forum Masyarakat Perhutanan Indonesia (FKMPI) Indroyono Soesilo menyatakan promosi perlu digencarkan untuk mendorong keberterimaan SVLK.
Indroyono menyatakan Indonesia sudah mengajukan Dubes Yuri O Thamrin sebagai Direktur Eksekutif International Tropical Timber Organizaton (ITTO) yang diharapkan bisa ikut mempromosikan produk kayu berkelanjutan seperti pada skema SVLK.
“Dengan Pengalamannya dalam berdiplomasi di kancah internasional, saya optimis bisa terwujud. ***