Transisi energi dari energi berbasis fosil menuju energi baru dan terbarukan sangat penting untuk menghadapi perubahan iklim dan pada saat bersamaan untuk memenuhi kebutuhan energi yang terus meningkat karena pertumbuhan penduduk dan meningkatnya kesejahteraan.
Salah satu opsi yang bisa dilaksanakan dalam transisi energi adalah pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA).
Pakar lingkungan Universitas Indonesia yang juga Pendiri/CEO Environment Institute Mahawan Karuniasa pun menyerukan soal perlunya percepatan pembangunan PLTA dalam kebijakan Transisi Energi.
Mahawan Karuniasa menjelaskan bahwa sumber emisi Indonesia akan beralih dari aktivitas berbasis lahan ke sumber emisi dari sektor energi.
Untuk itu, agenda energi bersih Indonesia perlu memprioritaskan PLTA selain penerapan teknologi Carbon Capture Storage (CCS) maupun Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) pada pembangkit yang masih menggunakan batubara.
Mahawan menekankan pentingnya kontribusi PLTA dalam pengurangan emisi GRK khususnya di sub sektor pembangkit.
“Bahkan faktor emisi dari sub-sektor pembangkit pada tahun 2050 jauh berkurang menjadi hanya 3% saja dibandingkan kebijakan tanpa percepatan,” demikian disampaikan Mahawan Karuniasa, Pakar Lingkungan Universitas Indonesia pada Seminar Transisi Energi Menghadapi Perubahan Iklim di Universitas Sumatera Utara, Rabu 30 Agustus 2023.
Seperti diketahui, Badan Meteorologi Dunia atau World Meteorological Organisation (WMO) memperingatkan temperatur global kemungkinan besar akan terlampaui diatas 1,5 derajad Celsius secara temporer pada 5 tahun kedepan.
Tentu saja hal ini akan berdampak pada meningkatnya bencana
hidrometeorologis seperti banjir, longsor, dan angin ekstrem di Indonesia.
- Transisi Energi Menuju Net Zero Emission, CTIS Bahas Ragam Opsi Energi Hijau
- Kajian World Bank: Indonesia Mampu Kurangi Emisi GRK Selaras dengan Pertumbuhan Ekonomi
Guru Besar Ilmu Kehutanan Universitas Sumatera Utara, Rahmawaty menyampaikan bahwa dalam implementasi transisi energi, pembangunan pembangkit listrik di lapangan dapat diintegrasikan dengan manajemen konservasi serta pelestarian ekosistem hutan.
Seminar juga menghadirkan Dirjen EBTKE, Zeira Salim Ritonga Anggota DPRD Sumatera Utara, serta Baharuddin, Guru Besar dari Universitas Negeri Medan. ***