Rabu, 6 November 2024

Transisi Energi Menuju Net Zero Emission, CTIS Bahas Ragam Opsi Energi Hijau

Latest

- Advertisement -spot_img

Target penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025 penuh dengan tantangan.  Pasalnya, target yang merupakan amanat dari UU No. 30 tahun 2007 itu baru tercapai 13% saja pada tahun 2023.

Meski demikian namun, Pemerintah dan para pemangku kepentingan tetap berupaya untuk mencapai target tersebut melalui penerapan beragam EBT sebagai bagian dari kebijakan pencapaian Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat, guna mengimplementasikan Perjanjian Paris 2015 tentang Perubahan Iklim.

Demikian rangkuman pertemuan Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), di Jakarta, Jumat 21 Juli 2023. 

Berbicara pada kesematan itu Dr. As Natio Lasman, mantan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), yang saat ini adalah Anggota Dewan Energi Nasional (DEN). 

Dalam pertemuan yang dipimpin Ketua Komite Energi CTIS, Dr. Unggul Priyanto, dipaparkan Outlook Energi Indonesia yang dibuat oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) tahun 2017  yang memperlihatkan kondisi minyakbumi Indonesia yang sudah mulai impor pada tahun 2015, kemudian gas bumi diproyeksikan sudah mulai akan impor pada tahun 2028, sedang batubara sudah mulai akan impor pada sekitar tahun 2049. 

Kondisi tersebut membuat tak ada pilihan selain segera menggencarkan pengurangan energi fosil dan melakukan kebijakan transisi energi menuju tahun 2060.

As Natio memaparkan skenario penggunaan energi fosil yang terus menurun dari tahun 2025 hingga tahun 2060 mendatang.  Penggunaan Batubara turun dari 62% menjadi tinggal 17% saja pada tahun 2060, Minyak bumi turun dari 26%  pada tahun 2025 menjadi tinggal 5% saja  pada tahun 2060, sedang gas bumi turun menjadi tinggal 11% saja.

Kesemua energi fosil tadi akan digantikan oleh energi surya sebesar 23%, energi hidro 10%, nuklir 9%, biomasa 8%, Bahan Bakar Nabati (BBN) 5%, panas bumi 4%, angin 2% dan energi dari laut sekitar 2%. 

Khusus untuk energi nuklir, As Natio menjelaskan bahwa sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang ada maka Kalimantan Barat adalah daerah  yang paling siap sebagai lokasi dibangunnya PLT-Nuklir di Indonesia. Jika sudah terbangun tinggal sistem jaringan listriknya yang nantinya akan disebar ke wilayah lain. 

Berkaitan dengan sistem jaringan, atau SMART Power Grid, anggota CTIS di Australia, Dr. Rudy Purba, mencontohkan penggunaan energi surya  untuk konsumsi rumah tangga di Australia.  Memanfaatkan SMART Power Grid kelebihan listrik yang dihasilkan dari energi surya di rumah tanggak bisa ditransmisikan perusahaan listrik, yang kemudian akan disebar kepada pelanggan lain yang membutuhkan.

Ketua CTIS,  Dr. Wendy Aritenang, fokus membahas transisi energi di bidang transportasi.  Dia menyatakan pemanfaatan baterai untuk mobil listrik sekarang memang sedang menjadi tren.

Namun Wendy mewanti-wanti agar Indonesia juga bersiap dengan segera hadirnya bahan bakar hidrogen untuk transportasi, mengingat daya angkutnya yang  lebih besar, seperti untuk kapal laut, kereta api, truk truk besar dibandingkan dengan energi baterai listrik. 

Anggota CTIS, Professor Dwi Susanto dari University of Maryland-USA, menggaris-bawahi tentang pentingnya penerapan energi terbarukan dari laut, seperti energi ombak, energi pasang surut, energi OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion) serta energi angin dengan kincir angin dipasang di laut. 

Dalam diskusi terungkap saat ini  harga EBT ini memang masih lebih mahal daripada energi batubara, namun bila dibandingkan dengan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dengan bahan bakar minyak diesel, EBT jauh lebih murah.  Tercatat, saat ini terdapat sekitar 2000-an PLTD di kawasan Timur Indonesia yang perlu segera bertransisi menjadi EBT. 

Sementara itu Anggota Pengawas CTIS, Professor Indroyono Soesilo menyarankan agar program EBT dari laut ini dapat dimasukkan ke dalam Program Just Energy Transition Partnership (JETP) yang telah disepakati pada pertemuan KTT G-20 di Bali, November 2022 lalu. 

JETP untuk Indonesia dialokasikan sekitar 20 miliar dolar AS guna mendukung program transisi energi di Indonesia.  Tentunya, ragam EBT ini bisa diuji-cobakan lewat Program JETP.

As Natio Lasman mendukung usulan tersebut dan merencanakan untuk mengundang Kemenkomarvest ke CTIS guna membahas lebih dalam upaya mendorong implementasi EBT.  Sedang Professor Dwi Susanto segera menghubungi mitra-mitra di AS guna membuka jaringan komunikasi tentang JETP, termasuk dengan US Trade & Develoment Agency (US-TDA). ***

- Advertisement -spot_img

More Articles