Jumat, 26 Juli 2024

Sistem Transportasi Massal Bisa Atasi Polusi Udara

Latest

- Advertisement -spot_img

Presiden Joko Widodo mendorong warga untuk berpindah dari kendaraan pribadi ke sistem transportasi massal karena lebih cepat dan efisien.

Hal itu dinyatakan Presiden Jokowi usai usai mencoba Kereta Cepat Jakarta – Padalarang, Rabu, 13 September 2023.

“Dengan hadirnya sistem transportasi massal, seperti Kereta Cepat, Light Railway Transportation (LRT), Mass Rapid Transportation (MRT), Kereta Railway Listrik (KRL) dan Bus Trans Jakarta, diharapkan masyarakat mau berpindah dari kendaraan pribadi ke sistem transportasi massal yang lebih cepat dan lebih effisien ini,” kata Presiden Jokowi.

Seruan ini didukung oleh Center for Technology for Innovation Studies (CTIS) yang menilai system transportasi massal juga bisa mengatasi polusi udara.

Dr. Bambang S Pujantiyo dari Komite Transportasi CTIS, menjelaskan bahwa sistem transportasi di Jakarta memunculkan kemacetan yang parah dan menimbulkan 70% polusi udara di Ibukota. 

Hal ini disebabkan panjang jalan yang terbatas, hanya sekitar 7.208 Km dengan pertumbuhan panjang jalan kurang dari 1% per tahun dengan beragam hambatan penimbul kemacetan seperti terminal dan halte, persimpangan jalan, tempat parkir, bottleneck dan pola U-Turn. 

Jalan-jalan ini dipadati 3,8 juta mobil dan 18,33 juta sepeda motor (data per-17 Agustus 2023).  Idealnya, panjang jalan di Jakarta harus mencapai 12.000 Kilometer.  Ini berarti panjang jalan baru 60% dari target ideal. 

Belum lagi, setiap hari Jakarta “diserbu” 850.000-an penduduk Tangerang, 550.000-an penduduk Bekasi dan 600.000-an penduduk Bogor yang mencari nafkah di Jakarta.

“Nampaknya, upaya untuk mengalihkan transportasi penduduk dari kendaraan pribadi ke transportasi massal sudah sangat mendesak untuk disegerakan, kata Bambang dalam pernyataannya.

Beberapa waktu lalu CTIS telah melakukan pertemuan untuk mengkaji sistem transportasi massal di Jakarta guna menyusun rekomendasi  yang sesuai untuk diusulkan kepada Pemerintah. 

Dalam pertemuan itu terungkap, untuk mendorong masyarakat beralih dari kendaraan pribadi, jumlah transportasi massal juga harus dihitung dan disediakan secara tepat.  Di Jakarta, MRT diharapkan mampu mengangkut penumpang antara 30.000 – 60.000 orang per jam, LRT bisa mengangkut 5.000 — 10.000 orang per jam, sedang Bus Trans Jakarta bisa mengangkut 3.000 – 5.000 orang per jam. 

Kajian Bambang memperlihatkan bahwa ternyata interkonektivitas beragam jenis moda transportasi di Jakarta tadi masih lemah dan masih terkendala kewenangan. Misalnya, Jaringan Bus Trans Jakarta dikelola Pemprov. DKI Jakarta, Jalan Tolnya di kelola PT. Jasa Marga, sedang LRT dan MRT di kelola Perusahaan lain, sedang KA Jabodetabek dikelola PT. KAI. 

Ini mengakibatkan  konektivitas yang tidak terintegrasi dan berlanjut hingga berdampak sampai pada penyediaan sarana prasarana, penempatan halte bus, penempatan stasiun yang terintegrasi, hingga pada sistem jaringan telekomunkasi yang dikelola oleh beragam perusahaan.

Beberapa rekomendasi yang muncul dari pertemuan CTIS ini, antara lain,  berkaitan dengan kewenangan pada sistem transportasi antar-moda tadi kiranya bisa lebih terintegrasi. 

LRT dan KRL di Jakarta sudah mulai menggunakan produksi dalam negeri dengan kandungan lokal (TKDN) yang semakin meningkat.  Ini progress yang menggembirakan. 

Nampaknya, industri perkeretaapian di Tanah Air akan bisa lebih dikembangkan, asalkan perencanaan sistem moda transportasi ini dapat menjangkau jangka menengah hingga jangka panjang, sehingga industri perkeretaapian domestik ini bisa tumbuh secara berkelanjutan. ***

More Articles