Perdagangan karbon menjadi salah satu insentif investasi pengurangan dan penyerapan emisi gas rumah kaca (GRK) seperti restorasi ekosistem.
Untuk itu, dunia usaha berharap adanya percepatan peta jalan perdagangan karbon demi mendukung agenda Indonesia’s FOLU Net Sink 2030.
“Perdagangan karbon menjadi insentif untuk menarik investasi dalam rangka mendukung pencapaian Indonesia’s FOLU Net Sink 2030,” kata Sekjen Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto saat seminar hybrid yang diselenggarakan Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia (DIPI) dan Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Indonesia (RCCCUI), Rabu, 31 Mei 2023.
Agenda Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 menargetkan tingkat serapan GRK yang lebih tinggi dibandingkan emisi di sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (forestry and other land use/FOLU) pada tahun 2030. Untuk mencapai target tersebut investasi pada kegiatan-kegiatan yang berdampak pada pengurangan dan penyerapan GRK diperlukan.
Di sektor kehutanan, investasi yang bisa dilakukan untuk mendukung agenda FOLU Net Sink misalnya implementasi teknik pemanen kayu rendah dampak (RIL-C), Silvikultur Intensif (SILIN), Multi Usaha Kehutanan (MUK), serta restorasi ekosistem (RE).
Perhitungan KLHK pada tahun 2021, nilai investasi yang diperlukan untuk mendukung agenda FOLU Net Sink mencapai 14 miliar dolar AS dengan 55% diantaranya diharapkan datang dari sektor swasta.
Menurut Purwadi, perlu percepatan peta jalan perdagangan karbon untuk mendukung perdagangan karbon sebagai salah satu sumber pendanaan mencapai FOLU Net Sink.
“Ini akan menjadi basis penting untuk menetapkan baseline emisi untuk perdagangan karbon sektor kehutanan,” katanya.
Sebagai gambaran, hasil investarisasi GRK Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengungkapkan Indonesia berhasil mencapai tingkat emisi minus 114,42% pada tahun 2020 dari sektor kehutanan yaitu sebesar 1.050,41 juta ton setara CO2 dari skenario Business as Usual (BAU) yang sebesar 1.998,80 juta ton setara CO2.
Sektor kehutanan merupakan tulang punggung pencapaian penurunan emisi GRK secara Nasional seperti tertuang dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia. Berdasarkan Enhanced NDC, Indonesia menargetkan penurunan emisi GRK sebesar 31,89% dengan upaya sendiri (CM1) atau mencapai 43,2% dengan dukungan internasional (CM2).
Sementara itu President Director PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI) Mangarah Silalahi menuturkan masih banyak tantangan dalam menjalankan kegiatan restorasi ekosistem di Indonesia.
Diantaranya adalah kewajiban yang dibebankan kepada Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) RE masih sama seperti pada PBPH yang berorientasi pada pemanfaatan hasil hutan kayu.
“Dari sisi kebijakan, saat ini sudah ada perbaikan tapi pengaturannya masih rigid,” katanya.
Tantangan lainnya adalah adanya izin lain yang tumpang tindih dan bertentangan dengan tujuan dari PBPH RE. “Misalnya tambang dan jalan tambang,” katanya.
Saat ini ada 601 unit PBPH dengan total luas izin 30,22 juta hektare dengan sekitar 970 ribu hektare diantaranya adalah PBPH RE dan pemanfaatan hasil hutan non kayu.
- KLHK Kebanjiran Permohonan Izin Pemanfaatan Jasa Lingkungan, Regulasi Perdagangan Karbon Segera Terbit
- Tujuh PBPH Jadi Pilot Project Multi Usaha Kehutanan, Bakal Libatkan Hulu-Hilir
Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB Profesor Hariadi Kartodihardjo menyarankan agar PBPH-RE diarahkan menjadi perizinan berusaha yang terpisah dari usaha hutan alam lainnya.
Hal ini karena sifat usahanya lebih membangun asset baru yang memerlukan dukungan prasyarat yang kondusif, daripada usaha komersial biasa.
Hariadi juga menyatakan perlunya penyempurnaan peraturan perizinan sehingga cukup memberi ruang improvisasi dan mampu menjawab persoalan nyata kegiatan RE di lapangan.
“Untuk meningkatkan daya tarik restorasi ekosistem berbagai skema insentif perlu diberikan,” katanya. ***