Pasca pandemi Covid-19, perekonomian global mulai pulih. Situasi ini juga terjadi di Indonesia.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan, prospek ekonomi nasional yang kian membaik telah efektif membantu meningkatkan kepercayaan investor untuk berinvestasi di Indonesia, tidak terkecuali di komoditas pangan yang juga dikenal sebagai soft commodities.
Hal ini terlihat dari realisasi investasi Kuartal IV-2021, yang mencapai Rp241,6 triliun atau tumbuh 115,2% secara tahunan (year on year/yoy). Sehingga, pada keseluruhan tahun 2021, realisasi investasi dapat mencapai Rp901 triliun.
“Guna terus meningkatkan investasi dan penyerapan tenaga kerja, pemerintah terus memberikan insentif yang meningkatkan utilisasi industri dan mendorong perbaikan iklim usaha. Di 2022, pemerintah akan memanfaatkan momentum Presidensi G20,” ujar Airlangga pada webinar Indonesia Data and Economic Conference (IDE) Katadata 2022, Kamis 7 April 2022.
Airlangga menyatakan pemerintah juga terus membangun peningkatan daya saing dan mendukung ekspor soft commodities. Dia juga menekankan produksi soft commodities akan dilakukan dengan praktik berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Silverius Oskar Unggul mengungkapkan, untuk menciptakan pertanian berkelanjutan dan bisnis yang berwawasan lingkungan, pengusaha telah melakukan kolaborasi dengan para petani di daerah.
Dia sadar, untuk dapat menciptakan pertanian dan bisnis berkelanjutan penguatan organisasi masyarakat sangat diperlukan.
“Dengan organisasi masyarakat yang kuat, apapun bisa kita lakukan. Sebaliknya, kalau organisasi di rakyat tidak dibangun. Maka, berapapun uang yang kita masukkan, secanggih apapun teknologi yang kita gunakan, pasti tidak akan berkelanjutan,” tegas Silverius.
Sementara itu Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Indroyono Soesilo mengungkapkan sektor kehutanan bisa ikut mendukung produksi soft commodities berkelanjutan dengan menerapkan multi usaha kehutanan.
Indroyono menjelaskan multi usaha kehutanan berarti hutan tidak hanya dimanfaatkan untuk memproduksi kayu saja tapi juga jasa lingkungan dan hasil hutan bukan kayu, termasuk pangan.
Indroyono menyatakan komitmen berkelanjutan yang memiliki daya saing tinggi adalah koridor yang dianut dalam pengelolaan hutan saat ini.
Adapun tiga aturan yang dipegang adalah Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2016 tentang tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim). Lalu, UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi dan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
“Dari situ kita mengetahui dunia industri kehutanan menuju multi-usaha kehutanan. Kita juga melihat sekarang ini semua kaitannya sudah kepada keberlanjutan,” kata Indroyono.
Indroyono mengungkapkan, sejauh ini Indonesia sudah berhasil menurunkan angka kebakaran hutan dan lahan hingga 82 persen.
Selain itu, Indonesia juga sudah berhasil menurunkan laju deforestasi sejak 10 tahun terakhir. Tahun lalu, angka deforestasi di Tanah Air hanya 100 ribu hektare.
Saat ini, para pengusaha kehutanan sedang mendorong pasar secara berkelanjutan. Hasilnya, ekspor industri kehutanan Indonesia pada 2021 mencapai 13,5 miliar dolar AS. Capaian tersebut baru pertama kali dan menjadi yang tertinggi sepanjang masa.
Indroyono juga mengungkapkan terbukanya peluang pemanfaatan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021. ***