Indonesia mengajak Negara-negara pemilik gambut tropis untuk terus berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam pengelolaan gambut.
Indonesia memiliki pengalaman melakukan aksi korektif pengelolaan 24,6 juta hektare lahan gambut tropis yang bisa menjadi rujukan.
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong menyatakan Indonesia siap untuk berbagai pengalaman pengelolaan gambut demi pencapaian tujuan nasional sekaligus berkontribusi dalam mencapai ambisi pengendalian perubahan iklim.
“Semoga pandemi cepat berlalu sehingga kita bisa berbagi pengalaman dan pengetahuan secara langsung di lapangan,” kata Alue saaat membuka salah satu sesi diskusi di Paviliun Indonesia pada Konferensi Pengendalian Perubahan Iklim di Glasgow, Skotlandia, Selasa 10 November 2021.
Kerja sama Negara-negara pemilik gambut tropis berada di bawah payung Internasional Tropical Peatlands Center (ITPC) dalam kerangka kerja sama Selatan-Selatan.
ITPC didirikan oleh Indonesia, Republik Kongo, dan Republik Demokratik Kongo pada tahun 2018. Peru kemudian bergabung sejak Juli 2021. Indonesia menjadi tuan rumah Sekretariat ITPC.
Sejak dibentuk, sejumlah pertemuan untuk berbagi pengetahuan telah diselenggarakan ITPC dengan melibatkan mitra tingkat Nasional dan internasional
ITPC saat ini sedang mengembangkan platform yang menyediakan berbagai informasi tentang peneliti dan hasil riset gambut dengan masyarakat untuk mendapat solusi pengelolaan tepat guna di lapangan.
Direktur Pengendalian Kerusakan Gambut SPM Budisusanti mengungkapkan Indonesia memiliki lahan gambut seluas 24,6 juta hektare yang merupakan lahan gambut tropis terluas di dunia.
“Lahan gambut Indonesia menyimpan 46 Gigaton karbon atau sekitar 8-14% cadangan global,” katanya.
Perlindungan gambut di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1990. Kebijakan tersebut kemudian diperkuat semasa kepemimpinan Presiden Joko Widodo dengan dirilisnya paket regulasi perlindungan dan pengelolaan gambut (PP Gambut) tahun 2016
Berdasarkan kebijakan tersebut dilakukan restorasi lahan gambut yang mengalami degradasi di areal yang dikelola perusahaan maupun di lahan masyarakat.
“Sampai akhir tahun 2020 ada 294 konsesi di lahan gambut yang direstorasi dengan luas areal mencapai 3,6 juta hektare,” kata Budisusanti.
Sementara di lahan masyarakat restorasi dilakukan di 236 desa dengan luas area 45.950 hektare. Kebijakan restorasi berhasil mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak 3,6 juta ton setara karbondioksida (CO2e).
Keberhasilan pemerintah untuk merestorasi gambut tak lepas dari keterlibatan pihak pemegang konsesi. Chief Sustainability Officer APP Sinar Mas Elim Sritaba menyatakan bersama dengan seluruh pemangku kepentingan, swasta telah mampu memulai peta jalan untuk pengelolaan gambut secara bertanggung jawab.
“Meski masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan, tapi bersama-sama, kita akan mampu berjalan ke arah yang benar dan terus membawa perubahan yang lebih baik lagi,” kata Elim.
Elim menegaskan APP Sinar Mas berkomitmen untuk terus melakukan upaya perbaikan yang berkelanjutan dan menggunakan teknologi dalam melakukan praktik terbaik dalam kelola tata air, yang bisa menunjang pencapaian target pengurangan emisi GRK.
Dirjen Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup Peru Jose Alvarez Alonso, menyatakan pihaknya butuh untuk berbagi pengetahuan iliah dan tradisional dalam pengelolaan gambut dari berbagai Negara.
Jose Alvarez juga ingin mendapat informasi yang lebih mendalam tentang strategi pembiayaan dan pelibatan publik dan swasta dalam pengelolaan gambut.
Dr. Franziska Tanneberger dari Universitas Greifswald Jerman memuji langkah Indonesia yang melakukan restorasi besar-besaran lahan gambut.
“Eropa perlu melihat bagaimana komitmen dan langkah Indonesia dalam merestorasi gambut,” katanya.***