Pemerintah menunda pemberlakukan pajak karbon mulai 1 Juli 2022.
Ini merupakan penundaan yang kedua kali dari rencana semula pada 1 April 2022
Pemerintah terus menyempurnakan instrumen pajak karbon di tengah risiko global yang ada dengan mematangkan peraturan pendukung pemberlakuan pajak karbon.
“Hal ini dilakukan bersama dengan seluruh kementerian/lembaga terkait termasuk Kementerian Keuangan (Kemenkeu),” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu dalam keterangan resmi di Jakarta, Jumat, 24 Juni 2022.
Proses penyempurnaan peraturan pendukung tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan seluruh aspek terkait, termasuk pengembangan pasar karbon, pencapaian target Nationally Determined Contribution (NDC), kesiapan sektor, dan kondisi ekonomi.
Ia menjelaskan proses pematangan skema pasar karbon termasuk peraturan teknisnya, yang sistemnya akan didukung oleh pajak karbon, masih membutuhkan waktu.
Oleh sebab itu, pemerintah memutuskan untuk menunda pemberlakuan pajak karbon yang awalnya direncanakan akan diterapkan pada Juli 2022.
Kendati begitu, Febrio menegaskan pajak karbon akan tetap dikenakan pertama kali pada badan yang bergerak di bidang Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara dengan mekanisme pajak yang mendasarkan kepada batas emisi di tahun 2022 sesuai amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
“Pajak karbon diharapkan dapat mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon,” ucap dia.
Selain itu, ia menyebutkan pemerintah juga tetap menjadikan penerapan pajak karbon pada tahun 2022 sebagai capaian strategis (deliverables) yang menjadi contoh dalam pertemuan tingkat tinggi G20.
Sebagai bagian dari deliverables ini, pemerintah juga mendorong berbagai aksi mitigasi perubahan iklim lainnya, di antaranya melalui mekanisme transisi energi (Energy Transition Mechanism/ETM).
Mekanisme tersebut di satu sisi memensiunkan dini PLTU batu bara (phasing down coal) dan di sisi lain mengakselerasi pembangunan energi baru dan terbarukan (EBT) dengan tetap mempertimbangkan dampak sosial dan ekonominya. ***