Dari 7 Juta Kilometer-Persegi luas wilayah Indonesia, 1/3 nya adalah daratan, 2/3 nya adalah lautan dan 3/3 nya adalah wilayah udara.
Wilayah udara ini harus dipertahankan kedaulatannya dan juga dimanfaatkan untuk mempersatukan NKRI melalui, antara lain, pengembangan industri penerbangan Nasional.
Demikian kesimpulan Diskusi Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Rabu, 15 Januari 2025, yang mengambil topik “Industri Penerbangan Indonesia”.
Menyampaikan paparan pada diskusi ini adalah Founder dan Ketua Pusat Studi Air Power Indonesia, Marsekal (Purn) Chappy Hakim, dengan moderator Anggota CTIS yang juga mantan Kepala LAPAN, serta Professor Emiritus ITB, Prof. Harijono Djojodihardjo.
Chappy Hakim, yang mantan Kepala Staf TNI-AU itu, menjelaskan tiga peristiwa besar dunia pada satu abad terakhir dipicu oleh sebuah kekuatan udara, seperti serbuan pesawat-pesawat udara dari Armada Laut Kekaisaran Jepang ke Pangkalan AL AS di Pearl Harbour, Hawaii, pada 7 Desember 1941, yang menggiring Amerika Serikat terlibat pada Perang Dunia II. Kemudian, dijatuhkannya Bom Atom di Kota Hiroshima dan Nagasaki oleh pesawat pembom B-29 AS pada Agustus 1945, membuat Jepang bertekuk-lutut dan mengakhiri Perang Dunia II, namun berlanjut pada Perang Dingin.
Dan yang terakhir adalah aksi penabrakan pesawat sipil ke Gedung World Trade Center,di New York pada 11September 2001 yang berakibat hadirnya “War On Terorism” di seluruh Dunia.
Chappy juga menegaskan bahwa kekuatan udara AURI pada Operasi Trikora Pembebasan Irian Barat, di awal dekade 1960-an, termasuk kehadiran pesawat pesawat pembom strategis TU-16 AURI yang ditugaskan untuk menyasar dan menenggelamkan kapal induk AL Belanda, Karel Doorman, berhasil menggiring Belanda ke meja perundingan, di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa Banga (PBB).
Irian Barat akhirnya kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi lewat jalur diplomasi dan operasi inflitrasi militer.
Wilayah udara merupakan sumber daya alam yang dikuasai negara untuk dimanfaatkan sebesar besarnya bagi kemaslahatan rakyat.
Chappy menegaskan bahwa Indonesia sebagai Negara Kepulauan terbesar di Dunia harus hidup dengan dan bersama industri penerbangan. Untuk menghubungkan 17.500-an pulau di NKRI, hanya bisa dilakukan dengan membangun jaringan transportasi laut dan transportasi udara yang kuat.
Industri penerbangan nasional mempunyai lima ciri, yaitu 1) keberadaan maskapai penerbangan pembawa bendera (flag carrier), 2) memiliki maskapai penerbangan perintis, 3) memiliki maskapai penerbangan charter, 4) memiliki maskapai penerbangan kargo dan 5) memiliki industri pesawat terbang.
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, Chappy Hakim menegaskan bahwa Indonesia telah memiliki lima ciri industri penerbangan itu, termasuk pengelolaan maskapai penerbangan Garuda Indonesia sebagai flag carrier, yang mencontoh sistem management maskapai penerbangan Belanda, yang dikenal terbaik di Dunia.
Indonesia pernah memiliki maskapai penerbangan perintis yang dikomandoi oleh Merpati Nusantara Airlines untuk menjangkau seluruh Indonesia. Setelah maskapai penerbangan Merpati tutup, diharapkan perannya dapat diambil alih oleh maskapai Pelita Air.
Kehadiran maskapai penerbangan charter dan kargo perlu didukung oleh keberadaan pabrik pesawat terbang. Chappy Hakim amat bangga dengan pesawat CN-235 Tetuko buatan PT. Dirgantara Indonesia, yang rancang-bangunnya dapat untuk angkutan penumpang dan angkutan barang, serta dapat dipakai maskapai penerbangan sipil dan juga digunakan oleh Angkatan Udara di berbagai negara.
“Nampaknya kehandalan CN-235 perlu didukung dengan pelayanan purna-jual serta penyediaan suku cadang yang lebih baik lagi,” demikian komentar Chappy Hakim.
Ia juga berharap kiranya pesawat angkut N-219 buatan PT. Dirgantara Indonesia dapat segera di produksi massal, karena ini adalah jawaban tepat untuk transportasi antar-pulau di Nusantara yang memiliki landasan udara pendek, pesawat berbahan bakar effisien dan biaya operasi relatif rendah.
Sebagai penutup, Chappy Hakim menggaris bawahi tentang tantangan dan strategi pengembangan industri penerbangan di Indonesia, antara lain dukungan pemerintah untuk investasi dan insentif, karena pengembangan industri penerbangan merupakan strategi jangka panjang.
Di samping itu, kebijakan dan regulasi perlu di evaluasi kembali dan dimutakhirkan. Misalnya, permasalahan wilayah udara, tentang wilayah udara sebagai bagian dari sumberdaya alam sesuai UUD-1945, perlu kehadiran kembali Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional (Depanri), serta perlu keberadaan kembali Lembaga Penerbangan & Antariksa Nasional (LAPAN) yang sudah dibentuk oleh Undang Undang.
“LAPAN adalah lembaga serupa pertama di Asia, dan pada tahun 1961 sudah berhasil meluncurkan roket – roket KAPPA, sayang lembaga ini sekarang hilang,” tutur Chappy Hakim menutup paparannya. ***