Tahun 1936, begitu sampai di puncak pegunungan Jayawijaya – Papua, geologiwan Belanda, Jean Jacques Dozy, takjub alang kepalang melihat bukit batuan keras berwarna hijau-kehitaman mencuat diantara lapisan salju abadi.
Bukit didekati, ternyata bukit itu dibentuk dari mineral Kalkopirit (CuFeS2). Ia menamakannya Ertsberg atau “gunung bijih”.
Disitu, ditemukan banyak logam tembaganya (Cu) dan logam tembaga tadi bercampur dengan unsur emas (Au), perak (Ag) dan Seng (Zn). Itulah yang sekarang dikenal sebagai tambang Tembaga Pura, yang merupakan tambang emas terbesar di Dunia.
Ada lagi, Reinout Willem van Bemmelen, seorang geologiwan Belanda kelahiran Jakarta,1904, namun menyelesaikan Doktor-nya di Universitas Delft.
Semangatnya mengadakan survey dan riset geologi di Bumi Nusantara menghasilkan buku klasik The Geology of Indonesia pada tahun 1949, yang menjadi rujukan seluruh geologiwan Dunia.
Sedang Arie Frederik Lasut, pemuda pintar kelahiran Minahasa, Sulawesi Utara 6 Juli 1918, pada 1939 ia melanjutkan kuliah di Techniche Hoogeschool te Bandoeng (THS), yang sekarang menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB).
Sayang, karena berkecamuknya perang dan penjajahan Jepang, ia putus kuliah, walaupun sempat membentuk Djawatan Geologi di Bandung.
Begitu Indonesia merdeka, AF Lasut bergabung dengan pasukan Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) di Yogyakarta. Ia berhasil menyelamatkan hampir seluruh dokumen dan peta geologi tentang Indonesia, untuk ia sembunyikan di Yogyakarta.
Belanda terus mengincar AF Lasut agar menyerahkan dokumen-dokumen penting geologi Indonesia tadi. Ia menolak. Pada 7 Mei 1949 Belanda menahan AF Lasut dan ia gugur ditembak mati di Pakem, Yogyakarta.
Dokumen-dokumen geologi Indonesia tetap terselamatkan dan tidak jatuh ke tangan Belanda. Presiden Soeharto, pada 20 Mei 1969, melalui Keppres No.012/TK/Th.1969, menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepada Arie Frederik Lasut. Ia adalah Bapak Geologi dan Pertambangan Indonesia.
Potensi kekayaan mineral, minyak dan gas bumi di Bumi Nusantara meneguhkan Pemerintah Indonesia untuk segera membentuk Jurusan Geologi di Universiteit Indonesia, di Bandung pada tahun 1950.
Para ahli geologi Belanda yang tetap tinggal di Indonesia pasca perang kemerdekaan RI, direkrut untuk membuka pendidikan tinggi geologi ini, dipimpin Prof. Dr. Theodorus Henricus Franciscus Klompe. Mulai saat itulah para ahli geologi Indonesia dididik di dalam negeri dan memunculkan nama-nama J.A.Katili, MT Zen, Sartono, RP Koesoemadinata, Rubini Soeriaatmadja, Soejono Martodjojo, Sampoerno dan lain lain.
Booming industri mineral, dan migas di tanah air, pada dekade 1970-an hingga 1980-an, meningkatkan kegiatan eksplorasi geologi di seluruh Indonesia dan ini membutuhkan banyak ahli geologi.
Jurusan Teknik Geologi ITB, yang semula bernaung dibawah Universiteit Indonesia, hanya mampu meluluskan belasan insinyur geologi saja pertahunnya.
Pada tahun 1973, ada 57 mahasiswa baru jurusan Geologi ITB dan ternyata mereka sudah direkrut oleh perusahaan-perusahaan mineral dan migas sejak awal. Usai mereka menyelesaikan pendidikan pada 1978, langsung habis terserap oleh industri mineral dan migas dalam negeri, apalagi, kala itu, ada program Indonesianisasi.
Pada dekade 1990-an kegiatan eksplorasi geologi semakin mengarah ke laut dengan kehadiran kapal-kapal riset modern Baruna Jaya milik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Lapangan-lapangan migas lepas pantai mulai banyak ditemukan.
Setelah hampir 50 tahun saat pertama kali menjejakkan kaki mereka di Kampus ITB, maka pada 29 Oktober 2022, para ex mahasiswa geologi ITB Angkatan 1973 kembali ke Kampus Ganesha – Bandung. Mereka telah mengabdi hampir lima dekade di berbagai bidang, menghasilkan karya-karya nyata, untuk Nusa dan Bangsa.
Tercatat, pengabdian para Alumni Geologi ITB 1973 beragam, ada yang mengabdi sebagai Menteri Koordinator, ada yang pernah menjabat Deputi Menteri, Deputi BP Migas, ada yang pernah mengemban tugas sebagai Direktur Jenderal, ada pula yang mengabdi sebagai Guru Besar di Kampus ITB, serta di Kampus Kampus lain.
Profesi para alumni juga beragam, ada yang berprofesi sebagai geologist, explorationist, geophysist, ahli penanggulangan bencana, petroleum geochemist, environmental geologist, volcanologist hingga menjabat Direktur di Industri-Industri Migas, serta konsultan bidang eksplorasi batubara, mineral dan migas. Ada pula yang terjun ke dunia perkebunan dan industri media.
Mereka kembali ke kampus untuk bernostalgia, berbagi pengalaman dengan para dosen dan juga dengan para mahasiswa geologi generasi penerus. Kesemuanya ini untuk menjamin keberlanjutan pengabdian bagi kejayaan Ibu Pertiwi. ***