Keanekaragaman hayati menjadi indikator keberhasilan pencapaian komitmen Indonesia’s FOLU Net Sink.
Di sisi lain, keanekaragaman hayati bisa menjadi value added dalam perdagangan karbon.
Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indra Eksploitasia menjelaskan keterkaitan antara konservasi keanekaragaman hayati dengan pengendalian perubahan iklim.
“Perubahan iklim dan keanekaragaman hayati menjadi isu yang dibahas dalam konvensi UNCBD,” kata Indra dalam diskusi Pojok Iklim “Indonesia’s FoLU Net Sink 2030: Peran Restorasi Ekosistem dan Konservasi Keanekaragaman Hayati” yang berlangsung secara daring, Rabu 6 Juli 2022.
Menurut Indra, dalam Global Biodiversity Framework, ada sejumlah target terkait perubahan iklim dan keanekaragaman hayati yang ingin dicapai pada tahun 2030.
Diantaranya adalah memastikan semua aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim tidak berdampak negatif pada keanekaragaman hayati.
Indra mengingatkan pentingnya peran keanekaragaman hayati yang mencakup genetik, spesies, dan ekosistem sebagai pondasi dan kesejahteraan manusia.
Keanekaragaman hayati bisa menjadi pelindung dari bencana alam, menyediakan tanah subur untuk pemenuhan pangan, dan menyediakan berbagai kebutuhan dasar manusia.
“Melestarikan keanekaragaman hayati adalah kunci untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dan kemakmuran ekonomi. Keanekaragaman hayati harus dipandang sebagai aset pembangunan ekonomi nasional,” kata Indra.
Indonesia beruntung menjadi negara Megabiodiversity. Tercatat ada 133.693 spesies yang teridentifikasi di Indonesia mulai dari mamalia, burung, amfibi, reptil, hingga ikan.
Indra memberi contoh bagaimana hilangnya keanekaragaman hayati bisa berdampak pada perubahan iklim.
Menurut dia hilangnya top predator akan meningkatkan satwa herbivora yang menekan regenerasi pohon sebagai penyerap GRK.
“Perburuan satwa atau pemanfaatan yang tidak bertanggung jawab akan mengubah komposisi pohon dan mengubah potensi penyimpanan karbon,” katanya.
Indra menegaskan keanekaragaman hayati yang tinggi pada ekosistem akan meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim dan meningkatkan kemampuan hutan menyimpan karbon dalam jangka panjang.
Indra mengingatkan, aksi mitigasi perubahan iklim juga bisa meningkatkan ancaman pada keanekaragaman hayati. Misalnya penurunan keragaman spesies karena penanaman pohon tinggi karbon.
Untuk itu, dia mengatakan Rencana Operasional Indonesia’s FOLU Net Sink, mitigasi akan diarahkan pada aksi-aksi yang memberi manfaat pada keanekaragaman hayati.
Indonesia’s FOLU Net Sink adalah komitmen yang ingin dicapai dimana tingkat penyerapan GRK dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan (forestry and other land use/FOLU) sudah seimbang atau lebih tinggi dari emisinya di tahun 2030.
Dalam Rencana Operasional Indonesia’s FOLU Net Sink, ada sejumlah aksi mitigasi utama seperti pencegahan deforestasi, pengelolaan hutan lestari, penanaman Hutan Tanaman, rehabilitasi hutan, dan konservasi keanekaragaman hayati.
“Hutan bukan hanya berfungsi untuk menyerap karbon tapi juga sebagai rumah dari berbagai hidupan liar,” kata Indra.
Dia mengingatkan tingginya tingkat keanekaragaman hayati bisa menjadi nilai tambah dalam valuasi karbon. Indra mengakui jika saat ini tingkat keanekaragaman hayati masih undervalued di pasar karbon.
“Perlu negosiasi untuk menjadikan keanekaragaman hayati sebagai value added dalam perdagangan karbon,” katanya. ***