Indonesia mengajak dunia untuk bekerja sama, berbagi pengalaman dan pengetahuan di World Mangrove Center untuk memacu pengelolaan mangrove berkelanjutan yang memiliki nilai penting secara ekonomi dan sosial sekaligus strategis dalam pengendalian perubahan iklim.
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong menyatakan Indonesia sangat serius untuk memastikan kelestarian hutan mangrove.
Indonesia menginisiasi tiga resolusi terkait mangrove dan pesisir dalam sidang lingkungan hidup PBB, UNEA ke-4 tahun 2019.
Indonesia juga memperluas kerja lembaga yang dahulu hanya fokus pada restorasi gambut menjadi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove.
Selain itu, Indonesia berinisiatif mengembangkan World Mangrove Center (WMC) dengan dukungan Pemerintah Jerman.
“WMC akan menjembatani, mengkoordinasi dan memperkuat kolaborasi di antara semua stakeholder pada semua tingkatan di berbagai Negara untuk mendukung pengelolaan hutan mangrove,” kata Alue pada sesi diskusi panel di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim COP26 UNFCCC di Glasgow, Skotlandia, Jumat 5 November 2021.
Indonesia adalah pemilik ekosistem mangrove terluas di dunia.
Indonesia berambisi untuk merehabilitasi mangrove pada periode 2021-2024 dengan target luas 600.000 hektare dengan melibatkan pemerintah, LSM, masyarakat, dan pelaku usaha.
Indonesia juga baru saja meluncurkan Peta Mangrove Nasional (PMN) pada Oktober 2021 dengan skala detil 1:25.000.
Hasil analisis data menunjukkan, terdapat perubahan luasan yang cukup signifikan luas eksisting mangrove dari PMN 2013-2019Â sebesar 3,311,245 Ha, dan hasil pemutakhiran PMN di tahun 2021 menjadi seluas 3.364.080 Ha.
Dengan kata lain terdapat kenaikan luasan mangrove eksisting seluas 52.835 Ha.
Alue Dohong menekankan pentingnya hutan mangrove secara ekologi dan ekonomi. Mangrove menjadi tempat hidup biota laut bernilai ekonomis penting bagi masyarakat. Mangrove juga banyak dimanfaatkan untuk kegiatan ekowisata oleh masyarakat.
Secara ekologis, mangrove menjadi benteng dari abrasi, intrusi air laut, dan tsunami. “Keberadaan mangrove juga penting secara politis bagi Indonesia karena terbukti mampu melindungi dan mempertahankan keberadaan pulau-pulau terluar Indonesia,” kata Alue.
Alue Dohong juga mengingatkan peran penting mangrove dalam pengendalian perubahan iklim karena mampu menyimpan karbon 3 sampai 5 kali lipat lebih tinggi dari hutan tropis.
Dirjen di Kementerian Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan Jerman (BMZ) Profesor Claudia Warning menyatakan pihaknya mendukung inisiatif Indonesia untuk mengembangkan WMC karena menyadari pentingnya keberadaan mangrove.
“Mangrove tidak hanya penting untuk keanekaragaman hayati di pesisir tapi juga mendukung ketahanan pangan dan penciptaan lapangan kerja,” katanya.
Jerman mendukung Indonesia dalam pengembangan WMC dengan lokasi percontohan di Karang Gading, Sumatera Utara; Delta Mahakam dan Berau, Kalimantan Timur; dan Kota Sorong dan Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat.
Jerman melalui proyek Forest Programme (FP) VI menghibahkan 20 juta euro lewat Bank Pembangunan Jerman (KfW) untuk mendukung pengembangan WMC di Indonesia.
Peneliti Kementerian LHK, Virni B Arifanti memaparkan penelitian yang dilakukan di Berau menunjukkan besarnya pelepasan emisi gas rumah kaca (GRK) jika mangrove mengalami kerusakan.
“Rusaknya 1 hektare hutan mangrove akan menyebabkan kehilangan 50% stok karbon yang tersimpan,” katanya.
Oleh karena itu, Virni menekankan hutan mangrove Indonesia berperan penting dalam mitigasi perubahan iklim.
Mempertahankan mangrove bisa mengurangi emisi GRK Indonesia di sektor penggunaan lahan antara 10-31%. Virni juga menyatakan pentingnya melibatkan masyarakat dalam kegiatan perekonomian yang berbasis konservasi dan rehabilitasi mangrove.***