Badan PBB untuk urusan pangan dan pertanian, FAO, menilai produk kayu menyimpan karbon yang berpotensi besar sebagai material netral karbon untuk mendukung ketahanan ekonomi dan pengendalian perubahan iklim
Potensi besar penyimpanan karbon produk kayu dibahas pada dialog bertajuk ‘Wood products: Building blocks for a sustainable bioeconomy in Asia and the Pacific’ yang digelar jelang sidang the 30th Asia Pacific Forestry Commission (APFC) FAO di Sydney, Australia, Senin, 2 Oktober 2023.
Direktur Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Krisdianto, yang menjadi panelis pada dialog tersebut menyampaikan dukungan Indonesia terhadap program pengembangan produk kayu sebagai material netral karbon yang diinisiasi FAO.
“Kontribusi produk kayu yang digolongkan dalam ‘Harvested Wood Products (HWPs)’ memiliki peran signifikan dalam mengurangi emisi. Kayu merupakan material yang bisa diperbarui dengan penanaman tanaman baru, sehingga pengelolaannya secara lestari diharapkan mampu berperan dalam mengurangi emisi di udara,” kata Krisdianto.
Pada Kongres Kehutanan Dunia tahun 2022 yang diselenggarakan FAO di Seoul, Republik Korea, dorongan untuk penggunaan kayu sebagai material netral karbon menjadi salah satu poin dalam Seoul Forest Declaration yang dihasilkan dari kongres tersebut.
Selain itu Para menteri yang hadir pada kongres tersebut juga menyerukan tentang perlunya peningkatan penggunaan produk kayu lestari secara signifikan sebagai solusi untuk mencapai komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca secara nasional (NDC) masing-masing negara.
Krisdianto menjelaskan, peran hutan untuk menyerap dan menyimpan karbon yang ada di atmosfir dalam bentuk biomassa kayu sudah menjadi pengetahuan umum ilmiah. Kayu itu kemudian dimanfaatkan untuk berbagai produk. Selama produk tersebut belum terdekomposisi atau terbakar, maka karbon akan tersimpan di produk kayu itu.
Seberapa besar simpanan karbon produk kayu akan bergantung pada karakter produk, lama penggunaan, konsumsi pengguna, dan praktik pemanfaatannya. Untuk itu penelitian yang menggali simpanan karbon pada produk kayu perlu dilakukan.
Sebagai gambaran, di Indonesia ada 4.000 spesies pohon penghasil kayu dengan kepadatan kayu bervariasi antara 0,1–1,1. Produk kayu yang dihasilkan pun bervariasi mulai dari kayu gergajian, panel, kayu serpih, pellet kayu, dan beragam kayu konstruksi.
Krisdianto juga menyatakan, saat ini simpanan karbon pada produk kayu belum diperhitungkan dalam konteks perdagangan karbon. Padahal, sudah ada proyek-proyek investasi pengurangan emisi karbon di negara-negara berkembang.
Di sisi lain, produk kayu juga diekspor ke negara lain. Dalam kasus seperti ini perlu dikaji bagaimana pengukuran karbon yang tersimpan di produk itu bisa diukur dan bagaimana perhitungannya sebagai bagian dari perdagangan karbon.
Krisdianto menekankan perlunya mengkaji bagaimana penyimpanan karbon di setiap spesies kayu dengan kepadatannya masing-masing, dan pengukuran karbon tersimpan pada produk kayu yang umumnya ditujukan untuk perdagangan internasional.
“Kajian data kandungan karbon dapat dimulai dari produk kayu yang memiliki HS code untuk kepentingan ekspor,” katanya. ***